Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penyatuan Diri dengan Gunung Rinjani

Kompas.com - 08/01/2012, 21:22 WIB

Setiap orang tujuh kali membenamkan diri ke dalam air. Mereka lalu menggosok tubuh dengan tujuh lembar daun tapen, tengah layu, dan terunas malam. Angka tujuh, menurut Purnipa, menyimbolkan tujuh lapis roh manusia, tujuh lapis langit, dan tujuh lapis surga.

Daun tapen menjadi pembuka kotoran pertama di tubuh. Daun tengah layu yang tak kenal layu, bahkan di musim kemarau, merupakan perlambang kekekalan roh. ”Roh tidak akan mati, hanya berpindah alam,” kata Purnipa. Terakhir, basuhan daun terunas malam menjadi simbol jiwa yang menebar keharuman. Daun terunas malam itu sungguh harum dan nyaman dihirup.

Sebelum mengikuti ritual pemandian, mereka dibaiat agar menghentikan segala perilaku buruk di masa lalu. ”Mereka berjanji pada diri sendiri untuk berubah. Kalau dilanggar, mereka akan menanggung risiko berat,” ujar Purnipa.

Pemandian di sumber air panas ini menjadi puncak bagi segenap prosesi pencucian diri yang dijalani anak-anak muda itu. Dua malam sebelumnya, Purnipa membawa anak-anak muda itu menembus kegelapan untuk berdoa di kompleks makam Raden Ketip Muda yang dipercaya sebagai leluhur Desa Sembalun Bumbung.

Temaram pelita yang bergoyang-goyang diterpa angin menguak sosok pohon beringin yang berdiri kokoh di depan sebuah pondok kayu berbentuk panggung. Satu per satu anggota rombongan melepas alas kaki dan menapaki tangga masuk ke bangunan kayu beratap rumbia itu. Satu per satu duduk bersila menghadap sesaji sesisir pisang, nasi tumpeng ketan kuning, ayam ingkung, serundeng, dan dua poci air putih.

Muhammad Saidi (23), putra bungsu Purnipa yang berpakaian putih dengan ikat kepala hitam, menyalakan dupa di nampan kecil. Mimik muka Saidi serius. Ia membisu selama mempersiapkan upacara pembadak untuk meminta izin sebelum mendaki Gunung Rinjani.

Ritual pembadak, menurut Purnipa, merupakan tradisi masyarakat Sembalun Bumbung yang sekarang mulai pudar. Ritual ini merupakan kearifan lokal masyarakat untuk hidup harmonis dengan alam pegunungan. ”Dulu, sebelum warga berangkat ke gunung atau ingin mengambil sesuatu dari gunung, seperti menebang pohon, harus didahului upacara pembadak, yaitu memohon izin terhadap alam,” katanya.

Ia harus menyatakan niat sebelum menebang pohon, misalnya untuk membangun rumah. Pengambilan itu secukupnya, tidak boleh berlebihan. ”Kalau niatnya hanya untuk rumah, tidak boleh menebang pohon untuk dijual,” katanya. Ritual ini sekaligus menjadi kontrol supaya tidak terjadi penebangan liar di hutan Rinjani, yang bisa mengganggu keseimbangan alam.

”Gunung Rinjani merupakan pusat ngayu-ayu atau rahayu, kemakmuran. Karena itu, kita harus menyatukan diri dengan alam,” ujar Purnipa.

Penyatuan diri dengan alam itulah yang akan dijalani para pemuda itu. Mereka ingin meninggalkan masa lalu yang keliru dan mencari kedamaian hidup.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com