Sistem demokrasi yang diraih pascarezim otoriter Orde Baru semestinya menjadi arena bagi setiap warga negara untuk mewujudkan kedaulatan mereka dalam kehidupan politik dan ekonomi. Namun, alih-alih berdaulat, seusai pemilu, proses politik dan ekonomi sepenuhnya dikendalikan oleh berbagai kekuatan oligarkis berselubung partai, etnik, daerah, agama, dan golongan. Berbagai kekuatan oligarkis inilah yang akhirnya membajak dan akhirnya menikmati demokrasi.
Ironisnya, para penyelenggara negara di pusat dan daerah lebih memilih bersekutu dengan para oligarkis yang dibiayai oleh kapitalis-investor ketimbang mengawal bangsa, memuliakan konstitusi, dan menjaga hati nurani rakyat kita.
Berbagai konflik agraria seperti terjadi di Mesuji, Lampung, dan Lambu-Sape, Bima, semestinya tidak perlu terjadi jika para penyelenggara memiliki komitmen serius mengelola sumber daya ekonomi lokal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam kasus Kecamatan Lambu dan Kecamatan Sape, sangat wajar masyarakat menolak wilayah mereka jadi areal pertambangan emas karena lokasinya merupakan sumber mata air yang menghidupi warga setempat sepanjang hayat.
Bagi umumnya masyarakat kita, hutan, tanah, dan lahan pertanian adalah soal hidup-mati seluruh generasi pada setiap komunitas lokal. Oleh karena itu, yang justru tidak wajar adalah penerbitan izin pertambangan yang potensial merampas hak hidup masyarakat setempat di atas nyawa ekonomi mereka sendiri. Dalam kasus Bima, masyarakat Kecamatan Lambu yang memblokade Pelabuhan Sape tampaknya kecewa berat terhadap Bupati Bima Ferry Zulkarnain yang menerbitkan izin pertambangan tanpa berkonsultasi dengan warga setempat. Apalagi, Lambu (dan juga Sape) adalah basis utama Bupati Ferry ketika memenangi Pilkada Bima, baik pada 2005 maupun untuk kedua kali pada 2010. Pada Pilkada 2005, Ferry Zulkarnain-Usman AK meraih 52,3 persen suara di Lambu, sedangkan pada Pilkada 2010 Ferry yang berganti pasangan dengan Syafrudin M Nur merebut 66,4 persen suara di kecamatan yang sama.
Kasus Bima (dan Mesuji) sekali lagi memperlihatkan betapa berisikonya kehidupan bangsa kita ketika para elite penyelenggara negara, di pusat dan daerah, lebih memilih bersekutu dengan para pemodal daripada rakyatnya sendiri. Pada tingkat ekstrem, kita tentu patut prihatin jika pada akhirnya negara menjadi monster dan predator bagi rakyatnya sendiri. Semoga tindak brutal aparat kepolisian menembaki pengunjuk rasa di Sape, Bima, bukan pertanda awal hadirnya negara yang berlaku sebagai predator bagi rakyatnya.
Syamsuddin Haris Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.