Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Warisan Semangat Pluralisme Jaya Pangus

Kompas.com - 29/12/2011, 03:50 WIB

Untuk lebih memahami legenda itu, Kompas mengunjungi tiga pura di Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, yang menjadi bagian dari legenda itu, Sabtu (10/12). Ketiga pura itu, Pura Pucak Penulisan, Pura Dalem Balingkang, dan Pura Ulun Danu Batur.

Pura Pucak Penulisan terletak di Desa Sukawana, Bangli, sekitar 70 kilometer dari Denpasar. Pura yang menjadi pusat kerajaan Panarajon ini tinggi sekitar 1.750 meter dari permukaan laut. Untuk mencapai pura harus melewati 283 anak tangga.

Rasa lelah saat meniti tangga seolah hilang ketika memasuki areal pura. Kabut tipis terlihat mendekat dan suara angin menggesek pepohonan, bagaikan suara debur ombak dari kejauhan.

Pura ini menyimpan beragam patung kuno dan ornamen dari batu. Pengamat budaya dari Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Kadek Suartaya, mengatakan, patung-patung batu itu peninggalan pemerintahan Raja Sri Kesari Warmadewa selama abad ke-8 hingga abad ke-11. Jaya Pangus menjadi raja terakhir di Panarajon.

Bendesa Adat Desa Pinggan Made Seden mengisahkan, Raja Jaya Pangus pergi ke Desa Pinggan setelah Panarajon dilanda bencana berupa hujan dan angin besar. Setiba di Desa Pinggan, Jaya Pangus mulai membangun Dalem Balingkang yang dapat diartikan penyatuan ”Bali” dan marga Tionghoa, ”Kang”.

Di areal Pura Balingkang terdapat pelinggih (tempat suci) Ratu Ayu Mas Subandar untuk menghormati Kang Ching Wei yang bernuansa Tionghoa. Ada lampion merah dan hiasan piring keramik serta guci China.

Pelinggih serupa ditemui di Pura Ulun Danu Batur di Desa Batur, Kintamani, yaitu pelinggih I Gede Ratu Ngurah Subandar. Tidak hanya umat Hindu dan Buddha saja yang boleh bersembahyang di tempat itu, tetapi semua orang. ”Tidak apa-apa karena Tuhan hanya satu, sementara manusia memiliki cara berbeda-beda untuk memuja-Nya,” kata pemuka agama Pura Ulun Danu Batur I Wayan Sukadia.

Keharmonisan dan pluralisme yang menjadi pesan utama dari legenda Jaya Pangus ini membuat dalang dan dosen ISI Denpasar, I Made Sidia, tertarik untuk mementaskannya. Legenda ini pun dikemas dengan megah di Bali Safari and Marine Park di Kabupaten Gianyar, Bali. Selain dipentaskan lebih dari 150 penari, pertunjukan berjudul ”Bali Agung” ini juga melibatkan sejumlah satwa.

Dengan dipentaskan secara rutin, Made berharap penonton bisa diingatkan bahwa keharmonisan beragama sangat indah. Apalagi saat ini konflik yang terjadi lebih banyak bermula dari perselisihan antar-agama. Jadi, warisan Jaya Pangus ini sangat relevan untuk masa kini.

(Herpin Dewanto)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com