Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Korban Letusan Gunung Agung

Kompas.com - 26/12/2011, 19:26 WIB
Ketua Tim Penulis: Ahmad Arif
Tim Penulis: Indira Permanasari, Agung Setyahadi, Agustinus Handoko, Cornelius Helmy Herlambang


TIBA-TIBA
suara gemuruh mendekat. Suasana menjadi gelap pekat. Udara panas menyengat. ”Saya mulai ketakutan,” kisah Turut. Remaja ini pun tak kuasa bertahan. Dia tinggalkan para pemain gamelan yang lain. ”Saya lari bersembunyi di ceruk sempit di belakang pura sambil menutup mata.”

Dia tak ingat lagi dengan rekan-rekannya. Yang ada dalam benaknya hanyalah bagaimana menyelamatkan diri. Ceruk batu yang menghadap ke selatan, membelakangi Gunung Agung, itu melindunginya dari empasan langsung awan panas. Namun, tetap saja tangan dan sebagian mukanya melepuh.

”Sekitar 30 menit suasana gelap. Gemuruh terus terdengar. Setelah itu, suasana kembali terang, tapi sepi,” kata Turut. Sunyi mencekam. Tak ada lagi bunyi gamelan. Bahkan, tak terdengar suara apa pun. Dia keluar dari lubang persembunyian dan menyaksikan teman-temannya tewas bergelimpangan.

Ia berjalan tertatih meninggalkan pura. Panas di wajahnya tak terperikan. Kakinya melepuh, menginjak tanah berselimut kerikil membara. Jejak luka bakar itu masih terlihat hingga kini. Saat itu, dia mengira seluruh keluarga dan rekannya telah tewas. Turut putus asa dan nyaris bunuh diri. Dia berjalan tanpa arah sambil mencari-cari senjata tajam.

Saat itulah, ia melihat Drasni, gadis muda tetangganya yang baru saja menikah, menusukkan pisau ke leher. Drasni bunuh diri melihat suaminya, Itawa, mati diterjang awan panas. ”Drasni sempat berjalan sekitar 500 meter sebelum tersungkur dan mati,” ujar Turut.

Melihat cara Drasni mati, Turut mengurungkan niatnya bunuh diri. Dia meneruskan perjalanan menuju Sekeluwih, menjauhi aliran awan panas. Di sana, ia bertemu ayah dan ibunya.

Dari 25 penabuh gamelan di Sogra, hanya delapan orang, termasuk dirinya, yang selamat. Mereka yang selamat itu ternyata lari lebih dulu menuju Sekeluwih sesaat sebelum awan panas menerjang. Hanya Turut yang masih selamat walaupun bertahan di dalam pura.

Jero Mangku Wayan Ginda termasuk yang selamat karena berlari sesaat sebelum awan panas menerjang. ”Bapak saya waktu itu juga di pura bersama Pak Mangku Turut,” ujar Mangku Gde Umbara, Bendesa Adat Desa Sebudi, anak Wayan Ginda. ”Menjelang kejadian, bapak keluar dari pura dan berlari ke rumah menyelamatkan saya,” kisah Umbara, yang waktu itu berumur 3 bulan.

Wayan Ginda meninggal beberapa tahun lalu. ”Bapak saya keluar dari pura begitu melihat gumpalan awan turun dengan cepat,” ujar Umbara.

Sementara Ketut Sudana selamat dari awan panas karena kebetulan. Pagi itu, dia mendapat giliran memasak. Dia pulang ke rumah untuk menyiapkan makanan bagi lebih kurang 100 warga yang khusyuk berdoa dan menabuh gamelan di Pura Badeg Dukuh.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com