Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hidupkan Api Sumpah Pemuda

Kompas.com - 28/10/2011, 03:18 WIB

Oleh Yudi Latif

Sumpah Pemuda itu adalah tekad. Tekad dari suatu kaum yang progresif. Pendefinisi utama pemuda itu bukanlah usia, melainkan situasi mental kejiwaan (state of mind). Menulis di majalah Bintang Hindia Nomor 14 (1905: 159), Abdul Rivai mendefinisikan ”kaum muda” sebagai rakyat Hindia (yang muda atau tua) yang tidak lagi bersedia mengikuti aturan kuno, tetapi berkehendak untuk memuliakan harga diri bangsanya melalui pengetahuan dan gagasan kemajuan.

Dalam ungkapan Samuel Ullman, ”Pemuda bukanlah persoalan lutut yang lentur, bibir merah, dan pipi berona kemerahan; melainkan masalah tekad, kualitas imajinasi, kekuatan emosi; kesegaran musim semi kehidupan.”

Sumpah Pemuda itu adalah komitmen. Komitmen untuk secara sungguh-sungguh memperjuangkan gagasan demi kebaikan hidup kebangsaan. Penanda penting yang mewarnai Kerapatan Besar Pemuda Indonesia (KBPI) II, 28 Oktober 1928, adalah penggunaan bahasa Melayu-Indonesia sebagai bahasa kongres. Suatu trajektori baru dalam kesadaran nasional, ditandai oleh penarikan batas antara dunia penjajah dan terjajah lewat tanda perbedaan bahasa.

Akan tetapi, pemancangan tanda baru ini bukanlah perkara mudah. Bagi pemuda-pelajar yang terdidik dalam persekolahan bergaya Eropa, penggunaan bahasa Indonesia membawa kesulitan yang serius: menimbulkan kegagapan bagi pembicara dan kebingungan bagi pendengar. Sebagian peserta yang mencoba berbahasa Indonesia gagal dan terpaksa menggunakan bahasa Belanda.

Salah seorang di antara mereka adalah Siti Soendari, perwakilan Poetri Indonesia. Namun, komitmen kebangsaan membangkitkan tekad untuk menaklukkan segala kesulitan. Hanya selang dua bulan sejak peristiwa itu, Siti Soendari secara heroik sanggup berpidato dalam bahasa Indonesia pada Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta, 22-25 Desember 1928.

Sumpah Pemuda itu adalah kebesaran. Kebesaran jiwa yang mengatasi kekerdilan kepentingan sempit demi kebaikan hidup bersama. Meski sebagian besar pemuda-pelajar yang menghadiri KBPI II itu berasal dari Jawa, mereka rela berkorban tidak memaksakan bahasa mayoritas (bahasa Jawa) sebagai bahasa persatuan. Demi mengusung gagasan kebangsaan yang egaliter, mereka sepakat menjadikan bahasa Melayu-Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Sumpah Pemuda itu adalah keluasan. Keluasan horizon imajinasi kebangsaan yang mengatasi kesempitan primordialisme agama dan kedaerahan. Pusat-pusat pendidikan dan ruang publik modern di Indonesia dan Belanda menjadi katalis bagi pergaulan lintas kultural.

Dengan wahana ini, para aktivis yang berasal dari beragam latar etnis dan agama bisa berinteraksi satu sama lain secara intens dan meluaskan jaringan sosial, yang melahirkan saling pengertian mengenai kepentingan bersama yang mengarah pada usaha pencarian identitas kolektif baru. Dalam perkembangannya, para aktivis dari Jong Java, Jong Sumatra, Jong Celebes, Jong Islamieten Bond, dan lain-lain menemukan kode identitas kolektif baru bernama ”kebangsaan Indonesia”.

Di bawah identitas kolektif baru ini, segala kesempitan dan keragaman dipertautkan ke dalam keluasan imaji keindonesiaan dengan ikrar yang mengakui tumpah darah satu, bangsa satu, dan bahasa persatuan. Kesanggupan mentransendensikan kesempitan etnosentrisme menuju keluasan solidaritas kebangsaan itu pada akhirnya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaannya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com