Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hidupkan Api Sumpah Pemuda

Kompas.com - 28/10/2011, 03:18 WIB

Meluntur dan mengempis

Setelah 83 tahun Sumpah Pemuda, semangat Sumpah Pemuda itu mengalami kelunturan. Usia muda (16-30 tahun) mengalami penggelembungan dalam struktur demografi Indonesia, tetapi mental muda mengalami pengempisan.

Tampilnya orang-orang berusia muda dalam berbagai bidang kehidupan tidak memperkuat semangat ”kaum muda”. Kebanyakan tak sanggup mengambil jarak dari ”kaum tua” yang mewariskan tradisi korupsi dan keterbelakangan; kebanyakan juga tidak menunjukkan kehendak untuk memuliakan harga diri bangsanya melalui pengetahuan dan gagasan kemajuan. Figur-figur politik berusia muda beradu cepat meraih puncak-puncak kekuasaan tanpa kekuatan etos kejuangan yang etis, miskin imajinasi, cenderung mengambil jalan sesat dalam meraih kekuasaan, dan tidak menunjukkan vitalitas daya muda yang progresif.

Komitmen kebangsaan juga meredup. Ke mana saja kita menghadap, di negeri ini tidak ada tanda-tanda keseriusan untuk secara sengaja memikirkan, menata, dan mengembangkan potensi yang kita miliki.

Para penyelenggara negara hanya sibuk membobol keuangan negara, tetapi jarang yang berkontribusi pada peningkatan pendapatan negara. Banyak anak muda jenius dari bangsa ini yang disia-siakan karena pemujaan pada budaya kedangkalan yang memberi ruang kepada anak-anak muda medikor-inferior menguasai bidang-bidang kenegaraan.

Dalam situasi demikian, budaya pecundang melanda kehidupan bangsa. Pusat teladan dan impian selalu diletakkan di luar negeri. Budaya konsumen untuk senantiasa mengutamakan produk asing merajalela dengan mematikan daya-daya produktif dalam negeri.

Kebesaran jiwa menjadi barang langka. Para penyelenggara negara tidak menghayati prinsip-prinsip kehidupan publik, yang harus mengutamakan kepentingan umum ketimbang kepentingan pribadi dan kelompok. Kementerian-kementerian negara menjadi negara dalam negara yang berkhidmat pada kepentingan partai masing-masing. Pemimpin negara hanya sibuk menyelamatkan karier politiknya seraya mengabaikan keselamatan warga dan wilayah negara.

Sementara di satu sisi, berbagai inisiatif untuk memberi kenyamanan bagi para penyelenggara negara terus dikembangkan. Namun di sisi lain, kenyamanan untuk rakyat diabaikan. Persatuan nasional didengung-dengungkan tanpa dilandasi kebesaran jiwa untuk menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Politik sebagai etik terus dipercanggih, tetapi politik sebagai etik diterbelakangkan. Maka, politik dan etik seperti air dengan minyak.

Kian menyempit dan retak

Keluasan imaji keindonesiaan mengalami penyempitan. Otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan, yang tidak diletakkan dalam konteks semangat kebangsaan dan negara persatuan yang luas, menimbulkan fragmentasi dan keterputusan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com