Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dayak Iban, Disegani tapi Tak Segan Berubah

Kompas.com - 08/10/2011, 03:36 WIB


   Wakil Bupati Kapuas Hulu Agus Mulyana yang berasal dari Dayak Iban di Kecamatan Batang Lupar, Kapuas Hulu, mengatakan, jalan dari Putussibau, ibu kota Kapuas Hulu, ke Nanga Badau yang berbatasan dengan Sarawak baru bisa dilalui mobil tanpa hambatan pada 2011. Jalan itu melintasi wilayah masyarakat Iban yang berada di Kecamatan Embaloh Hulu, Batang Lupar, dan Benua Martinus.


   "Sebelum ada jalan itu, moda transportasi yang bisa diandalkan adalah sungai, dipadu jalan kaki. Saya termasuk generasi yang masih merasakannya," kata Agus.


Tangguh
   Dayak Iban dikenal tangguh semasa perang antarsuku yang juga dikenal dengan masa pengayauan. Mengayau secara harfiah diartikan dengan memenggal kepala musuh pada masa perang antarsuku. Perang dengan perilaku itu kemudian oleh semua subsuku Dayak yang mendiami Pulau Borneo (sekarang masuk negara Indonesia, Malaysia, dan Brunei) dihentikan tahun 1894 melalui Perjanjian Damai Tumbang Anoi dalam rapat akbar di Tumbang Anoi, Kalimantan Tengah.


   Dalam buku Mozaik Dayak, Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat (terbitan Institut Dayakologi, 2008) disebutkan, orang Ibanójuga dikenal dengan orang Batang Rejang atau Majangó adalah suku yang piawai dalam perang. îTak sedikit wilayah yang ditaklukkan dan dikuasai laksana íagresorí,î tulis Sujarni Alloy, Albertus, dan Chatarina Pancer Istiyani, peneliti Institut Dayakologi, dalam buku itu.


   Kendati begitu, masyarakat Iban dikenal memiliki sifat baik. Semasa perang konfrontasi Indonesia-Malaysia (1962-1965) dan penumpasan PGRS/Paraku (1967) mereka banyak membantu Tentara Nasional Indonesia menunjukkan tempat persembunyian musuh di perbatasan.


    Meski mengikuti perubahan zaman dalam beberapa hal, sebagian masyarakat Iban di Kapuas Hulu masih mempertahankan tradisi hidup komunal di rumah betang dan menjaga hutan adat mereka. Tuai (kepala) rumah betang Sungai Utik, Bandi, mengatakan, hidup komunal di rumah betang tetap dipertahankan untuk memupuk solidaritas dan gotong-royong.


   "Soal hutan, kami tidak bisa ditawar. Hutan adalah sumber kehidupan. Di sini tidak pernah ada cerita kekurangan air dan kekurangan pangan," katanya.


   Bandi mengungkapkan, sejumlah perusahaan hak pengusahaan hutan dan perkebunan kelapa sawit serta perusahaan pertambangan mencoba merayu masyarakat adat untuk menyerahkan hutannya. Namun, mereka tetap bergeming.


   Camat Embaloh Hulu, Hermanus, mengatakan, masyarakat Iban di Embaloh Hulu bersama para kepala desa membuat kesepakatan untuk menolak masuknya perkebunan kelapa sawit dan eksploitasi hutan adat.


   Itulah yang membuat Iban tetap disegani di tengah perubahan zaman.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com