Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dayak Iban, Disegani tapi Tak Segan Berubah

Kompas.com - 08/10/2011, 03:36 WIB

Oleh A Handoko
    Raymundus Remang (38), Kepala Desa Batu Lintang, dan keluarganya berjalan meninggalkan rumah-rumah betang dengan memanggul tonggak kayu. Mereka bersiap-siap menugal, menanam bulir-bulir padi di lahan yang baru saja dibakar.

   Aktivitas seperti itu lazim dilakoni oleh masyarakat subsuku Dayak Iban, setiap pengujung musim kemarau. Pekan sebelumnya, Remang dan 25 keluarga Ibanóyang bersama-sama menghuni rumah betang Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Baratóselesai membuka lahan.


    Menyongsong musim hujan, mereka membuka lahan dengan cara membakar semak belukar. Agar api tidak merembet liar ke mana-mana, mereka melokalisasi kobaran api dengan cara menumbangkan pohon-pohon di batas lahan. Alat-alat pemadam juga sudah disiagakan, termasuk semprotan air yang terbuat dari pohon bambu.


    "Itulah tradisi yang diajarkan nenek moyang kami. Kegiatan berladang tidak menyebabkan kebakaran di luar lahan yang hendak diolah,î kata Remang.

   Iban adalah satu dari 186 subsuku Dayak di Kalimantan Barat. Pada masa lalu, mereka sangat disegani karena keberanian para lelakinya menghadapi musuh. Setelah era perang
antarsuku berakhir, Iban terus bergerak mengikuti perubahan.


Remang menuturkan, bertani dengan cara berpindah-pindah sudah memasuki senja kala bagi komunitas Iban. Dalam 3-4 tahun belakangan ini, ladang yang sudah dibuka tak lagi ditinggalkan dan dibiarkan menjadi hutan lagi.  "Itu dulu! Sekarang warga kami sudah mulai mengenal budidaya karet secara intensif," kata Remang.


   Masyarakat Iban sejak tahun 1960-an sudah hidup sebagai penyadap karet yang tumbuh liar di hutan. Namun, belakangan mereka bergeser menjadi pembudidaya karet di lahan yang diolah. Interaksi sosial dengan komunitas masyarakat lain yang kian mudah membuat masyarakat Iban paham bahwa mengelola karet secara intensif lebih menjanjikan ketimbang menyadap karet yang tumbuh liar.


   Dengan menyadap karet di hutan, mereka hanya bisa mendapat getah 5 kilogram per hari. Bandingkan dengan hasil yang didapat dari kebun (budidaya) yang mencapai 20 kilogram per hari per hektar. Harga karet paling rendah adalah Rp 18.000 per kilogram.
Perubahan sosial pada masyarakat Iban boleh dibilang baru. Ini tak lepas dari terlambatnya infrastruktur pendidikan dan jalan raya masuk ke lokasi komunitas Dayak Iban berdiam di wilayah utara Kalimantan Barat dan area perbatasan dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia.


    Elye Kote (60), perintis sekolah di Sungai Utik, mengatakan, masyarakat Iban baru mengenal pendidikan formal pada tahun 1974 saat pertama kali didirikan sekolah melalui instruksi presiden. Masyarakat Iban lebih mengenal sekolah itu dengan sebutan sekolah kulit kayu dibandingkan dengan sekolah inpres karena dinding dan lantainya berasal dari kulit kayu.


   "Tahun 1965 saya mulai ditugaskan ke Sungai Utik, tetapi belum ada sekolah. Sekolah baru dibangun tahun 1974," kata Kote. Infrastruktur jalan baru mulai menembus wilayah Embaloh Hulu tahun 1992. Dua hal ini yang menyebabkan perubahan sosial masyarakat Iban berlangsung agak lamban. Demikian juga peran mereka dalam bidang sosial-politik di Kabupaten Kapuas Hulu dan Provinsi Kalimantan Barat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com