Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kerusuhan Baru di Ambon?

Kompas.com - 14/09/2011, 04:24 WIB

Oleh Raja Juli Antoni

Berita memprihatinkan datang dari Ambon pada Minggu, 11 September lalu. Bentrokan antarwarga di daerah-daerah perbatasan telah mengakibatkan 67 orang luka-luka dan 100-an orang mengungsi.

Pertikaian antarwarga ini, menurut berita Kompas (12/9), disulut oleh kesimpangsiuran berita mengenai meninggalnya seorang tukang ojek, Darfin Saimen (32), asal Waihaong, Sabtu, 10 September.

Belum dapat diberikan analisis paripurna mengenai apa, mengapa, dan bagaimana kelanjutan bentrokan ini. Namun, ada beberapa catatan kecil hasil penelitian lapangan penulis di Kota Ambon baru-baru ini, yang dapat menggambarkan keadaan masyarakat di situ.

Dua belas tahun setelah kerusuhan Ambon, fakta terakhir menunjukkan proses pembangunan perdamaian, termasuk upaya rekonsiliasi dan penyembuhan trauma, berjalan lambat. Yang paling mengkhawatirkan, terbatasnya ruang interaksi antara komunitas Islam dan Kristen. Benar bahwa fasilitas publik tak lagi memiliki ”jenis kelamin” agama. Namun, perjumpaan di antara dua komunitas masih terbatas pada ”pertemuan formal”: di kantor atau di pasar. Rasa saling percaya di antara dua komunitas agama masih sangat rapuh. Penduduk Kota Ambon masih tinggal di permukiman yang segregatif berdasarkan agama.

Menurut beberapa aktivis perdamaian yang penulis wawancarai, pola interaksi penduduk dua komunitas agama di Ambon masih bersifat ”pertemuan siang”. Pada malam hari, setiap orang kembali ke komunitas agama masing-masing. Yang berlangsung adalah ”interaksi kulit, interaksi luar”, bukan ”interaksi hati, interaksi dalam”. Masih artifisial.

Rasa saling curiga di antara dua kelompok agama digambarkan sebagai fenomena ”bisik-bisik di balik pintu”, sebuah istilah yang merepresentasikan bahwa sebenarnya masih ada masalah ”di antara kita”, tetapi hanya dapat diartikulasikan kepada saudara seagama dan disembunyikan dari saudara agama lain.

Meminjam Ashutosh Varshney, pola interaksi dua komunitas agama di Ambon masih terbatas pada perjumpaan informal, sederhana, dan bersifat rutin belaka. Terasa masih banyak halangan untuk melangkah lebih jauh ke arah interaksi yang lebih terorganisasi melalui asosiasi bisnis, organisasi profesi, klub olahraga, dan komunitas pencinta yang lebih mampu mencegah terjadinya konflik. Pertikaian antarwarga pada 11 September itu dapat dibaca dari pisau analisis ini.

Kesadaran merata

Selain penegakan hukum dan imparsialitas aparat keamanan yang harus terus didorong dan dicermati, ada dua alasan untuk tetap optimistis bahwa bentrokan antarwarga (11/9) tak akan bereskalasi menjadi ”perang agama” baru.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com