Pertama, kesadaran yang relatif merata di kalangan penduduk Ambon (dan Maluku secara umum) bahwa mereka adalah korban. Berbagai macam kerugian fisik dan mental selama konflik mengantar penduduk Ambon ke titik jenuh untuk berkonflik. Meski hidup segregatif, penduduk Ambon terus mengembangkan toleransi guna mencegah ketersinggungan ”saudara kita di sebelah”. Semua pihak harus menjaga kejenuhan berkonflik ini sebelum ada provokasi politik sebagai energi baru untuk memobilisasi konflik.
Kedua, konflik telah melahirkan kesadaran institusi keagamaan berbenah diri. Pembenahan secara sistematis terlihat terutama dalam tubuh Gereja Protestan Maluku (GPM). Dalam beberapa keputusan dan laporan program kerja GPM 10 tahun terakhir, terlihat keinginan GPM untuk hadir sebagai ”Gereja orang Maluku”. Pembaruan teologi Gereja ”prokehidupan”, misalnya, telah membantu aparat Gereja merumuskan program konkret dalam mempromosikan perdamaian dan rekonsiliasi.
Di sisi lain, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maluku di tengah konservatisme yang melanda MUI di level nasional justru
Jika diyakini bahwa institusi agama berperan dalam proses mobilisasi konflik Ambon, berbenahnya institusi keagamaan di Ambon tentu akan berperan mencegah konflik baru.
Akhirnya, sumber frustrasi terbesar masih berada di pundak pemerintah. Pemerintah Kota Ambon, Provinsi Maluku, dan Jakarta agaknya hanya tertarik pada program pembangunan infrastruktur yang manipulatif dan koruptif. Program jangka panjang seperti penguatan proses rekonsiliasi dan pemulihan trauma diabaikan begitu saja. Entah apa yang bisa diharapkan dari pemerintah yang bebal seperti ini!