Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ibarat Menanti Linggis Mengambang

Kompas.com - 29/05/2011, 03:05 WIB

Tentu masih banyak korban langsung ataupun tak langsung. Seperti ribuan petani tambak yang produksi tambaknya merosot karena Sungai Alo sebagai sumber pengairan mereka dicemari lumpur Lapindo. Macetnya investasi di Sidoarjo karena investor takut lumpur akan menenggelamkan. Ekonomi biaya tinggi harus ditanggung kalangan pengusaha akibat kemacetan di Jalan Raya Porong sebagai dampak lumpur Lapindo.

Belum lagi masalah degradasi kualitas hidup, merosotnya kesehatan masyarakat karena harus menghirup udara berbau dari semburan lumpur. Masih seabrek masalah lagi. Yang jelas, lima tahun eskalasi masalah semakin meluas.

Dibiarkan

”Linggis mengambang” memang bukan hanya cermin keputusasaan korban lumpur Lapindo, tetapi sekaligus sebagai sindiran karena linggis dibiarkan apa adanya. Coba linggis itu direkayasa sebegitu rupa akan bisa mengambang seperti kapal.

Hal itu sebagai penggambaran bahwa pemerintah memang tidak secara saksama menangani kasus lumpur Lapindo. Coba lihat, sampai lima tahun umur semburan tidak pernah ada upaya menghentikan semburan walau sebenarnya teknologi, kemampuan sumber daya manusia, tersedia. Biaya menutup semburan diperkirakan Rp 3 triliun atau kurang dari tiga tahun anggaran Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Anggaran BPLS rata-rata 1,2 triliun per tahun atau lebih besar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sidoarjo sebesar Rp 1,1 triliun.

Pemerintah lebih sibuk bagaimana menyediakan anggaran BPLS untuk membuat tanggul lumpur, relokasi jalan raya Porong, membuat jalan tol, membuang air lumpur ke Sungai Porong. Dikesankan masyarakat sebagai bentuk bagi-bagi proyek. Bahkan tak adanya upaya menghentikan semburan, menimbulkan kesan bahwa semburan itu memang ”dibiarkan” untuk melanggengkan proyek BPLS.

Pemerintah juga tetap membisu dengan usulan korban agar diberikan dana talangan, yaitu Rp 1,2 triliun dipinjamkan kepada PT Lapindo untuk menyelesaikan tanggung jawabnya. Rp 3 triliun untuk membayar ganti rugi di luar area terdampak. Kalau untuk menalangi Bank Century sebesar Rp 6,3 triliun bisa, mengapa untuk korban lumpur Lapindo tidak mau? Semburan lumpur Lapindo jelas berdampak sistemik daripada Century.

Dalam titik nadir keputusasaan itu, akhirnya korban lumpur semakin menyadari tidak bisa lagi mengharapkan pertolongan kepada pemerintah. Tidak bisa mengharapkan politisi, tokoh organisasi kemasyarakatan, tokoh selebriti karena mereka sering lebih berperan sebagai makelar. Mereka merasa mustahil mengharap Lapindo memenuhi tanggung jawabnya.

Mereka harus bangkit menolong dirinya sendiri. Hal itu tercermin dari keputusan mengubah nama Koperasi Linggis Ngambang menjadi Sawo Kecik. Artinya, biar pun kecil tapi sawo itu berasa manis.

Memang tak mudah bangkit dari keterpurukan yang dahsyat. Tetapi, mereka sudah berusaha. Tumbuh keyakinan menolong diri sendiri adalah suatu berkah. Sangat berbahaya jika mereka tidak lagi punya pengharapan.

Hasilnya, jika empat tahun lalu koperasi itu hanya beranggotakan belasan orang, kini sudah 80 orang. Sebenarnya banyak yang ingin bergabung, tetapi sumber daya yang ada belum memungkinkan menerima anggota lebih dari 80 orang. Kalau semula kegiatannya hanya jual pulsa, kini sudah bergerak ke simpan pinjam walau jumlahnya masih puluhan ribu rupiah.

Rupanya kiprah Koperasi Sawo Kecik itu jadi ”virus” yang menyebar dan merasuki alam persepsi sebagian korban lumpur Lapindo untuk bangkit. Daripada tenaga untuk demo, dana untuk meluruk ke Jakarta, berteriak tapi seperti bicara kepada tembok, lebih baik untuk membangun ekonomi. Kini muncul aneka kelompok usaha bersama kecil seperti asongan, pemandu wisata lumpur, atau ojek.

Korban lumpur hanya berpegang pada pitutur (ajaran moral), ”Bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu mengubah nasibnya sendiri”. Bangkitlah seperti pohon sawo kecik yang akarnya menghunjam ke bumi, batangnya menjulang ke langit, buahnya bisa dinikmati umat manusia dan satwa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com