A Ponco Anggoro
Status waspada itu bagi Gunung Gamalama (1.715 meter di atas permukaan laut) sudah ditetapkan sejak 2009 dan sampai kini belum dicabut. Asap masih bergulung-gulung dari puncak Gamalama. Suara dari dalam perut gunung juga masih terdengar bergemuruh.
”Kondisinya masih sama dengan bulan lalu,” kata petugas Pos Pengamatan Gunung Gamalama, Darno Lamanek, yang dihubungi Kompas, Rabu (25/5).
Status waspada merupakan level ketiga dalam kewaspadaan gunung berapi aktif. Masih ada satu level lagi sebelum gunung akhirnya meletus. Meski demikian, pada status waspada, pendakian gunung sudah dilarang. Begitu pun aktivitas di radius 2,5 kilometer dari puncak
Letusan terakhir gunung yang terletak di tengah pulau seluas 250 kilometer persegi itu terjadi tahun 2003. Letusannya tidak besar dan tak ada korban jiwa. Namun, selama sepekan abu menutup langit Kota Ternate. Bandar Udara Sultan Babullah ditutup, sebagian masyarakat pun mengungsi ke Tidore, pulau terdekat dari Ternate.
Letusan itu bukan yang pertama. Sejarah mencatat, letusan pertama terjadi tahun 1538, dan sejak itu Gamalama lebih dari 60 kali meletus. Erupsi yang menimbulkan korban jiwa setidaknya empat kali, dan yang terbanyak tahun 1775.
Kala itu, erupsi gunung melenyapkan Desa Soela Takomi bersama 141 penduduknya.
Aktivitas gunung yang tak pernah tidur itu pula yang memunculkan tradisi Kololi Kie yang kini digelar secara rutin setiap bulan April, sebagai salah satu pertunjukan dalam Festival Legu Gam. Yakni, pesta rakyat Maluku Utara yang hidup sejak zaman dahulu untuk mengitari Gamalama sambil mengunjungi sejumlah tempat dan makam keramat.
Sultan Ternate ke-48 Mudaffar Sjah mengatakan, gunung dianggap representasi dari pencipta dan penguasa alam yang mengagumkan sekaligus bisa mengancam sehingga muncul upaya penghormatan berupa Kololi Kie.