Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Evakuasi Lewat Laut Bisa Jadi Pilihan

Kompas.com - 27/05/2011, 04:05 WIB

A Ponco Anggoro

Hingga Rabu (25/5), status Gunung Gamalama di Pulau Ternate, Maluku Utara, masih waspada. Mengingat luas pulau yang relatif kecil, sementara letusan bisa membahayakan, evakuasi lewat laut untuk keluar dari pulau kini dikaji kemungkinannya.

Status waspada itu bagi Gunung Gamalama (1.715 meter di atas permukaan laut) sudah ditetapkan sejak 2009 dan sampai kini belum dicabut. Asap masih bergulung-gulung dari puncak Gamalama. Suara dari dalam perut gunung juga masih terdengar bergemuruh.

”Kondisinya masih sama dengan bulan lalu,” kata petugas Pos Pengamatan Gunung Gamalama, Darno Lamanek, yang dihubungi Kompas, Rabu (25/5).

Status waspada merupakan level ketiga dalam kewaspadaan gunung berapi aktif. Masih ada satu level lagi sebelum gunung akhirnya meletus. Meski demikian, pada status waspada, pendakian gunung sudah dilarang. Begitu pun aktivitas di radius 2,5 kilometer dari puncak gunung.

Letusan terakhir gunung yang terletak di tengah pulau seluas 250 kilometer persegi itu terjadi tahun 2003. Letusannya tidak besar dan tak ada korban jiwa. Namun, selama sepekan abu menutup langit Kota Ternate. Bandar Udara Sultan Babullah ditutup, sebagian masyarakat pun mengungsi ke Tidore, pulau terdekat dari Ternate.

Letusan itu bukan yang pertama. Sejarah mencatat, letusan pertama terjadi tahun 1538, dan sejak itu Gamalama lebih dari 60 kali meletus. Erupsi yang menimbulkan korban jiwa setidaknya empat kali, dan yang terbanyak tahun 1775.

Kala itu, erupsi gunung melenyapkan Desa Soela Takomi bersama 141 penduduknya.

Aktivitas gunung yang tak pernah tidur itu pula yang memunculkan tradisi Kololi Kie yang kini digelar secara rutin setiap bulan April, sebagai salah satu pertunjukan dalam Festival Legu Gam. Yakni, pesta rakyat Maluku Utara yang hidup sejak zaman dahulu untuk mengitari Gamalama sambil mengunjungi sejumlah tempat dan makam keramat.

Sultan Ternate ke-48 Mudaffar Sjah mengatakan, gunung dianggap representasi dari pencipta dan penguasa alam yang mengagumkan sekaligus bisa mengancam sehingga muncul upaya penghormatan berupa Kololi Kie.

Erupsi yang berulang kali terjadi ternyata tidak menghentikan denyut kehidupan 185.705 warga Ternate di kaki dan punggung Gamalama. Jumlah penduduk malah terus bertambah dengan laju 4,72 persen per tahun. Adapun angka kepadatan penduduknya telah mencapai 740 orang per kilometer persegi.

Kian padatnya penduduk tentu akan sangat berbahaya jika Gamalama meletus kembali. Apalagi Ternate hanyalah pulau kecil. Jarak terjauh dari puncak gunung ke pantai terluar di pulau hanya 7 kilometer.

Dengan demikian, hujan abu, lontaran atau guguran batu pijar, awan panas, dan lahar yang mungkin muncul saat letusan bisa sangat cepat sampai ke kaki gunung, tidak sampai setengah jam.

Peta kawasan bencana

Tahun 1996, Badan Geologi telah menyusun peta kawasan rawan bencana dengan tiga kawasan ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana. Peta ini bahkan bisa terlihat di sejumlah papan reklame ukuran besar di sejumlah kampung meski kondisi peta terlihat memudar.

Kini, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Ternate sedang memperbarui kembali peta itu, termasuk potensi bencana lain yang mungkin terjadi. Peta ini akan memasukkan jalur evakuasi, posko pengungsian, dan tindakan-tindakan tanggap darurat yang akan dilakukan jika bencana terjadi.

”Evakuasi melalui laut mungkin akan menjadi pilihan mengingat seluruh Ternate berpotensi terkena dampak letusan. Kalaupun ada posko pengungsian, mungkin sifatnya hanya sementara sebelum warga dievakuasi ke pulau lain,” kata Sekretaris BPBD Ternate Sukarjan Hirto.

Akan tetapi, sejak awal disadari pula bahwa evakuasi lewat jalur laut itu juga bukan urusan mudah. Pasalnya, semua pelabuhan penyeberangan ke pulau lain, seperti Tidore atau Halmahera, ada di selatan pulau. Sementara evakuasi melalui udara sangat tidak mungkin karena abu letusan gunung akan menghentikan aktivitas penerbangan di Bandara Sultan Babullah, Ternate.

”Kami sekarang masih membahas semuanya. Mungkin pertengahan tahun ini, peta tersebut sudah tuntas,” tambahnya.

Arbi Haya, Dekan Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, mengingatkan, setelah daerah rawan bencana ditetapkan, pemerintah akan melarang pembangunan rumah atau bangunan lainnya di daerah itu. Pasalnya, kini di sejumlah daerah yang pernah terkena letusan Gamalama, seperti di kawasan Batu Angus, muncul bangunan-bangunan baru milik warga yang mengabaikan kondisi kalau daerah itu pernah terkena imbas letusan.

Selain penyusunan peta rawan bencana yang belum tuntas, identifikasi sungai-sungai yang menjadi aliran lahar oleh Balai Wilayah Sungai Maluku Utara juga belum tuntas.

Pejabat Pembuat Komitmen Sungai dan Pantai I, BWSMU Saleh Talib mengatakan, pengkajian baru dilakukan tahun ini sehingga baru tahun depan pembenahan bisa dilakukan.

Padahal, berdasarkan pengamatan Kompas, sejumlah sungai yang pernah dilalui aliran lahar, seperti Sungai Maitilatu di dekat Kampung Loto dan Sungai Tabalolo dekat Kampung Tabalolo, masih tertutup material bekas lahar akibat letusan Gamalama.

Peningkatan kesadaran warga pun patut menjadi perhatian. Pasalnya, pada peristiwa letusan sebelumnya banyak warga menolak mengungsi. ”Setiap kali mau meletus, orang-orang tua di kampung selalu bilang letusan tidak akan berbahaya. Kami sekeluarga tetap di rumah dan bekerja seperti biasa,” kata Jamrud (57), warga yang sehari-hari bekerja memecah bebatuan bekas letusan Gamalama di Sungai Tabalolo.

Hal senada diungkapkan Sampo, warga Loto, yang desanya berjarak sekitar 4 kilometer dari puncak gunung. ”Saat letusan tahun 1980, saya masih bisa panen cengkeh di dekat puncak gunung. Kami baru mengungsi kalau lahar terlihat keluar karena lahar akan lewat sungai di dekat kampung,” katanya.

Komunikasi

Cara menyampaikan pengumuman bahaya pun harus dipikirkan. Tidak bisa sepenuhnya bergantung pada telepon genggam atau pesan singkat. Berkaca pada kejadian tsunami di Jepang, komunikasi melalui telepon genggam atau pesan singkat saat bencana nyaris tak bisa karena terlalu padatnya jaringan.

Maka, kata Hirto, cara komunikasi seperti apa yang akan dikembangkan juga sedang dipikirkan. Penggunaan kembali kentongan yang terbuat dari bambu atau kayu, yang di Ternate dinamakan dolo-dolo, mungkin saja jadi alternatif, selain sirene.

Dolo-dolo memang pernah populer, tetapi sekarang banyak yang tak lagi kenal meski alat itu bisa efektif saat bencana....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com