Tidak hanya pasar, apel Batu kini juga menghadapi persoalan iklim. Pohon apel yang dulu bisa tumbuh baik di ketinggian 900 meter di atas permukaan laut (mdpl) kini tak lagi bisa hidup maksimal. Ketinggian tanam
Pramono, petani pemilik 2 hektar lahan apel, masih beruntung karena kebunnya berada di ketinggian 1.100 mdpl, tetapi petani lain tak seberuntung dia.
Beberapa pohon tak lagi
Hama adalah perkara pelik yang lain. Yusuf, petani yang menggeluti apel turun-temurun, sudah mengenal hama kutu sisik. Namun, baru dua tahun terakhir ia geleng-geleng kepala. ”Hama ganas menyerang, tanaman apel yang telat diobati mati. Punya saya sudah ratusan pohon yang jadi korban,” kata Yusuf yang punya lahan setengah hektar.
Sugiman, Ketua Kelompok Tani Makmur Abadi, mengatakan, kutu sisik yang tak mudah terdeteksi itu telah menghabiskan 10 persen pohon apel di kelompoknya. Di desa lain, kematian pohon akibat kutu sisik mencapai 30 persen.
Biaya perawatan mau tidak mau membengkak 50-100 persen dari biaya semula. Jika biasanya biaya per hektar hanya Rp 13 juta-Rp 15 juta kini mencapai Rp 20 juta-Rp 30 juta. Membengkaknya biaya perawatan,
Sebagian petani terpaksa beralih ke kebun sayur dan bunga potong karena keuntungannya 50 persen lebih banyak. Namun, luas perkebunan apel di Batu secara umum terus menyusut. Pada 1980 Badan Penanaman Modal Provinsi Jatim mencatat luas perkebunan apel 2.015 hektar, tahun 2006 tinggal 516 hektar, dan kini boleh jadi kian sempit.
Meski beberapa petani beralih jenis tanaman, kelompok lain yang tersisa ternyata tak mau menyerah. Inovasi dan kreativitas membuat perkebunan apel hidup lebih lama.
Heri dan kawan-kawannya membuka bisnis agrowisata. Biarpun tergantung cuaca, bisnis agrowisata sampai saat ini bisa diandalkan petani.
Hama kutu sisik diatasi Sugiman dengan menyebar belerang. Pengetahuan itu diperolehnya dari bacaan di internet, buku-buku pertanian, dan diskusi dengan petani lain. Selain