Siwi Yunita Cahyaningrum
Heri (27), petani apel di Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Batu, baru saja selesai memandu ratusan
Dengan pengeras suara yang masih menggantung di leher, ia kembali ke kebun untuk mengecek pohon-pohon apelnya yang kini berbuah ranum. ”Ini menjadi bisnis utama kami selain bertani. Di sini, pengunjung mau membeli apel dengan harga dua-tiga kali lebih mahal dengan kompensasi kepuasan memilih dan memetik sendiri apel yang mereka mau,” kata Heri.
Sejak tiga tahun lalu Heri berprofesi ganda: petani dan pemandu wisata di agrowisata apel Makmur Abadi, kebun milik kelompok taninya.
Dengan kemampuan berbicara dan pengetahuan luas tentang apel, Heri dan rekan-rekannya mampu memikat wisatawan. Kini tak kurang dari 1.000 wisatawan setiap bulan mengunjungi Makmur Abadi.
Agrowisata apel yang awalnya hanya menjadi kerja sampingan petani kini menjadi tulang punggung hidup mereka.
Bagi Heri, mengandalkan hidup dari bertani saja tak bakal cukup. Apel milik petani harus bersaing dengan apel impor yang harga dan penampilannya lebih menarik.
Sepuluh tahun terakhir, apel Batu yang sekian lama menjadi ikon buah lokal Nusantara diakui petani mulai dirongrong oleh apel impor, mulai dari apel royal gala dari Selandia Baru, apel guangdong dari China, hingga apel Washington dari Amerika Serikat.
Apel-apel impor tidak hanya menyesaki supermarket modern, tetapi juga pasar tradisional, bersanding dengan apel Batu yang mungil. Bahkan, apel Batu sering kali tak terlihat di rak-rak atau bakul-bakul pedagang.
Tidak hanya pasar, apel Batu kini juga menghadapi persoalan iklim. Pohon apel yang dulu bisa tumbuh baik di ketinggian 900 meter di atas permukaan laut (mdpl) kini tak lagi bisa hidup maksimal. Ketinggian tanam
Pramono, petani pemilik 2 hektar lahan apel, masih beruntung karena kebunnya berada di ketinggian 1.100 mdpl, tetapi petani lain tak seberuntung dia.
Beberapa pohon tak lagi
Hama adalah perkara pelik yang lain. Yusuf, petani yang menggeluti apel turun-temurun, sudah mengenal hama kutu sisik. Namun, baru dua tahun terakhir ia geleng-geleng kepala. ”Hama ganas menyerang, tanaman apel yang telat diobati mati. Punya saya sudah ratusan pohon yang jadi korban,” kata Yusuf yang punya lahan setengah hektar.
Sugiman, Ketua Kelompok Tani Makmur Abadi, mengatakan, kutu sisik yang tak mudah terdeteksi itu telah menghabiskan 10 persen pohon apel di kelompoknya. Di desa lain, kematian pohon akibat kutu sisik mencapai 30 persen.
Biaya perawatan mau tidak mau membengkak 50-100 persen dari biaya semula. Jika biasanya biaya per hektar hanya Rp 13 juta-Rp 15 juta kini mencapai Rp 20 juta-Rp 30 juta. Membengkaknya biaya perawatan,
Sebagian petani terpaksa beralih ke kebun sayur dan bunga potong karena keuntungannya 50 persen lebih banyak. Namun, luas perkebunan apel di Batu secara umum terus menyusut. Pada 1980 Badan Penanaman Modal Provinsi Jatim mencatat luas perkebunan apel 2.015 hektar, tahun 2006 tinggal 516 hektar, dan kini boleh jadi kian sempit.
Meski beberapa petani beralih jenis tanaman, kelompok lain yang tersisa ternyata tak mau menyerah. Inovasi dan kreativitas membuat perkebunan apel hidup lebih lama.
Heri dan kawan-kawannya membuka bisnis agrowisata. Biarpun tergantung cuaca, bisnis agrowisata sampai saat ini bisa diandalkan petani.
Hama kutu sisik diatasi Sugiman dengan menyebar belerang. Pengetahuan itu diperolehnya dari bacaan di internet, buku-buku pertanian, dan diskusi dengan petani lain. Selain
Sekiranya buah apel tak terbeli pasar karena diserbu buah impor, Sihabudin, petani lain dari Desa Tulungrejo, berinovasi membuat sider apel, yaitu minuman sari buah apel dengan sistem fermentasi kedap udara.
Sihabudin sudah mencoba sejak 2002 dan ternyata membuahkan hasil. Sider apelnya sangat digemari pelancong dari Taiwan, Jepang, dan Korea karena rasanya mirip anggur.
Kelompok itu sebelumnya telah mengolah produk pascapanen apel menjadi cuka apel, sari apel, dan keripik apel sehingga apel Batu tetap laku di pasaran.
Para petani seolah tak kenal menyerah. Dengan berbagai cara mereka bertahan dari gempuran perubahan iklim dan pasar.