”Hutan di Jawa harus dibenahi bertahap, setidaknya mengembalikan ciri hutan tropis yang bervariasi jenisnya,” kata ahli ekologi tumbuhan yang juga Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mustaid Siregar di Bogor, Jawa Barat, Selasa (12/4).
Mustaid mengatakan, hutanhutan tersisa yang berganti tanaman homogen perlu dikembalikan variasinya sesuai kekhasan masing-masing. Pemerintah daerah dapat mendukung dengan memprioritaskan konservasi jenis tanaman lokal.
Ahli serangga LIPI, Rosichon Ubaidillah mengatakan, ulat bulu merupakan spesies kupu-kupu malam (ngengat) perusak daun. Predator ngengat paling penting yang mulai langka adalah kelelawar. Habitatnya, pegunungan karst, dieksploitasi sebagai bahan tambang kapur.
Sementara burung predator ulat adalah jenis jalak dan kutilang. Pelepasan burung pipit tak berpengaruh karena tak memangsa bagian metamorfosa, baik telur, ulat, pupa, maupun ngengat.
”Ledakan populasi ulat bulu merupakan fenomena ekosistem sudah berubah,” kata dia. Tanpa pemulihan kondisi alam, serangan sejenis akan berulang.
Hasil riset para peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta terhadap sampel ulat bulu di Kabupaten Probolinggo menunjukkan, siklus pertumbuhannya bergeser. Siklus dari pupa menjadi ngengat yang biasanya butuh waktu lebih dari sembilan hari, kini empat hari.
”Begitu ngengat muncul dari pupa, sehari berikutnya sudah kawin, kemudian bertelur,” kata pakar entomologi (ilmu serangga) Fakultas Pertanian UGM, Suputa.
Pergeseran siklus itu diperkirakan karena minimnya musuh alami ulat bulu dan naiknya temperatur udara. Padahal, setiap ngengat betina mampu memproduksi 70 hingga 300 ekor.