Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia Timur Terganggu

Kompas.com - 19/01/2011, 03:51 WIB

Ende, Kompas - Distribusi barang kebutuhan pokok dan mobilitas manusia terhenti total sepekan terakhir karena gelombang tinggi dan cuaca buruk telah melumpuhkan transportasi laut di Indonesia timur. Efek ganda akibat cuaca buruk sudah mulai dirasakan masyarakat di pantai utara dan pantai selatan Jawa.

Sejumlah pengusaha hasil bumi di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), sudah dibayangi kerugian besar lantaran armada truk mereka lebih dari sepekan ini masih mengantre di Pelabuhan Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai, karena feri tak berani beroperasi ke Sape, Nusa Tenggara Barat.

Anggota staf Pelabuhan Labuan Bajo, Sigit Purnomo, mengutip penjelasan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) setempat, mengemukakan, ketinggian gelombang laut 4-5 meter.

Situasi serupa terlihat pada aktivitas penyeberangan kapal dari Pelabuhan Bajoe, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan (Sulsel), menuju Pelabuhan Kolaka, Sulawesi Tenggara, yang terhenti sama sekali. Penghentian operasi juga diberlakukan untuk penyeberangan dari Pelabuhan Bira, Bulukumba, menuju Pelabuhan Pamatata di Kepulauan Selayar, Sulsel, karena ketinggian gelombang sampai 5 meter.

”Dua truk saya sudah berangkat 9 Januari lalu, tetapi sampai sekarang masih tertahan di Pelabuhan Labuan Bajo. Kalau terlalu lama di pelabuhan, kami akan rugi karena sekarang kami membeli di petani dengan harga tinggi,” kata Dionisius A Siu Go, pengusaha hasil bumi di Ende, Selasa (18/1).

A Siu biasa mengirim komoditas kemiri, kakao, dan kopra lewat jalur darat, yakni dari Ende jalur darat ke Labuan Bajo, kemudian menyeberang dengan feri ke Sape, lalu ke Denpasar, Bali, dan seterusnya ke Surabaya, Jawa Timur.

Menurut A Siu, saat ini harga hasil bumi sedang bagus. Kemiri, misalnya, di tingkat petani Rp 24.000 per kilogram (kg), kopra Rp 7.750 per kg, dan kakao Rp 19.500-Rp 20.000 per kg.

Pemimpin UD Kawi Indah Ende Ny Tuti Wibisono juga khawatir kerugian kian besar karena komoditasnya yang berupa kopra pasti menyusut karena makin mengering. ”Penyusutan bukan cuma kiloan, melainkan ton-tonan. Belum lagi kalau antre lama, kami juga harus mengeluarkan biaya tambahan uang makan untuk sopir. Kalaupun feri kembali beroperasi juga ada nomor antrean masuk feri. Repotnya jika antrean terlalu panjang,” kata Ny Tuti sambil menyebut 7 truknya yang tertahan di Labuan Bajo. Selain kopra, truknya juga mengangkut cengkeh dengan harga relatif tinggi, yakni Rp 50.000 per kg. Biasanya harga cengkeh di tingkat petani cuma Rp 25.000 per kg. Sebaliknya, lima truknya rute Surabaya tujuan Ende berisi paket jasa ekspedisi juga tertahan di Pelabuhan Sape lebih dari seminggu.

Hal serupa dirasakan Direktur UD Fajar Ende Liem Istanto. Tiga truk miliknya tertahan di Maumere, Kabupaten Sikka, masing-masing mengangkut 7 ton kemiri dan kakao. ”Informasinya kapal ro-ro (roll on roll off) dari Surabaya ke Maumere baru beroperasi lagi 21 Januari, sedangkan dari Maumere baru 25 Januari. Kami berharap secepatnya situasi normal kembali,” kata Liem.

Supervisi PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) NTT Cabang Labuan Bajo Sigit Purnomo menjelaskan, jumlah antrean sampai Selasa pukul 16.00 Wita, kendaraan besar (truk Fuso) sudah 60 unit, truk kecil 12 unit, dan kendaraan kecil (roda empat) ada 6 unit. Dijelaskan, feri tidak beroperasi sejak 10 Januari lalu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com