Sejumlah pengusaha hasil bumi di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), sudah dibayangi kerugian besar lantaran armada truk mereka lebih dari sepekan ini masih mengantre di Pelabuhan Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai, karena feri tak berani beroperasi ke Sape, Nusa Tenggara Barat.
Anggota staf Pelabuhan Labuan Bajo, Sigit Purnomo, mengutip penjelasan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
Situasi serupa terlihat pada aktivitas penyeberangan kapal dari Pelabuhan Bajoe, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan (Sulsel), menuju Pelabuhan Kolaka, Sulawesi Tenggara, yang terhenti sama sekali. Penghentian operasi juga diberlakukan untuk penyeberangan dari Pelabuhan Bira, Bulukumba, menuju Pelabuhan Pamatata di Kepulauan Selayar, Sulsel, karena ketinggian gelombang sampai 5 meter.
”Dua truk saya sudah berangkat 9 Januari lalu, tetapi sampai sekarang masih tertahan di Pelabuhan Labuan Bajo. Kalau terlalu lama di pelabuhan, kami akan rugi karena sekarang kami membeli di petani dengan harga tinggi,” kata Dionisius A Siu Go, pengusaha hasil bumi di Ende, Selasa (18/1).
A Siu biasa mengirim komoditas kemiri, kakao, dan kopra lewat jalur darat, yakni dari Ende jalur darat ke Labuan Bajo, kemudian menyeberang dengan feri ke Sape, lalu ke Denpasar, Bali, dan seterusnya ke Surabaya, Jawa Timur.
Menurut A Siu, saat ini harga hasil bumi sedang bagus. Kemiri, misalnya, di tingkat petani Rp 24.000 per kilogram (kg), kopra Rp 7.750 per kg, dan kakao Rp 19.500-Rp 20.000 per kg.
Pemimpin UD Kawi Indah Ende Ny Tuti Wibisono juga khawatir kerugian kian besar karena komoditasnya yang berupa kopra pasti menyusut karena makin mengering. ”Penyusutan bukan cuma kiloan, melainkan ton-tonan. Belum lagi kalau antre lama, kami juga harus mengeluarkan biaya tambahan uang makan untuk sopir. Kalaupun feri kembali beroperasi juga ada nomor antrean masuk feri. Repotnya jika antrean terlalu panjang,” kata Ny Tuti sambil menyebut 7 truknya yang tertahan di Labuan Bajo. Selain kopra, truknya juga mengangkut cengkeh dengan harga relatif tinggi, yakni Rp 50.000 per kg. Biasanya harga cengkeh di tingkat petani cuma Rp 25.000 per kg. Sebaliknya, lima truknya rute Surabaya tujuan Ende berisi paket jasa ekspedisi juga tertahan di Pelabuhan Sape lebih dari seminggu.
Hal serupa dirasakan Direktur UD Fajar Ende Liem Istanto.
Supervisi PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan
Menurut Sigit, frekuensi penyeberangan Labuan Bajo-Sape cuma sekali sehari dan kapasitas feri pun terbatas, yaitu 8 kendaraan besar, 5 kendaraan sedang, dan 5 kendaraan kecil.
Manajer Operasional PT
Larangan berlayar, menurut Takari, kemungkinan akan diberlakukan hingga Kamis ini sambil menunggu prediksi
Secara terpisah, Kepala Dinas Perhubungan Sulsel Masykur Sulthan menuturkan, menipisnya stok kebutuhan pokok di Kabupaten Kepulauan Selayar telah teratasi berkat bantuan TNI Angkatan Laut. Pangkalan TNI AL VI membantu dengan mengoperasikan satu kapal untuk membawa kebutuhan pokok, seperti beras, gula pasir, dan minyak goreng. ”Saya berharap bantuan ini juga bisa meredam lonjakan harga kebutuhan pokok di Selayar dan sekitarnya,” ujarnya.
Peristiwa terjebaknya 106 wisatawan di Pulau Karimunjawa, Jawa Tengah (Jateng), karena gelombang tinggi dan cuaca buruk, belum juga berakhir dan menimbulkan efek berantai yang merugikan.
Kantor Pelabuhan Jepara memperkirakan, pelayaran Jepara-Karimunjawa baru akan normal Jumat (21/1) nanti sehingga KM Muria yang tertahan di Kepulauan Karimunjawa dapat berlayar balik ke Jepara. ”Semoga prakiraan cuaca tidak berubah sehingga masyarakat dan wisatawan yang terisolasi sepekan dapat beraktivitas dengan normal,” kata Pelaksana Harian Syahbandar Jepara Suwartoyo.
Senin (17/1) pukul 05.00,
Camat Karimunjawa Nuryanto mengatakan, para wisatawan telah meninggalkan pesan di penginapan mereka bahwa
Sebagian besar nelayan di Rembang, Tegal, dan Cilacap (Jateng) hingga kini memilih tidak melaut karena cuaca yang mebahayakan keselamatan. Nelayan yang melaut hanya menangkap ikan dalam jarak dekat dan maksimal sehari kembali. Mereka umumnya lalu bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Imam, nelayan Desa Manggar, Kecamatan Sluke, Rembang, mengatakan, jika cuaca memburuk, mereka segera kembali ke darat. ”Tidak banyak ikan yang saya dapat. Paling rajungan,” ujarnya.
Sumadi (61), nelayan asal Binangun Indah, Rembang, mengaku sudah sebulan bekerja mencari pasir untuk bahan bangunan. ”Satu rit bisa dapat Rp 100.000,” ungkapnya.
Di Kota Tegal, para buruh industri pengolah ikan terpaksa bekerja serabutan karena pabrik itu sering berhenti berproduksi. Sulamah (35), buruh pengeringan ikan asin Pelabuhan Tegalsari, banting setir menjadi buruh tani di Desa Kertayasa, Kecamatan Kramat. Di Cilacap, nelayan juga masih takut melaut karena cuaca sulit diprediksi.
Di Pulau Madura, arus penumpang dan barang berangsur normal dengan berakhirnya imbauan untuk tidak berlayar di tengah cuaca buruk. Bahan kebutuhan pokok dan bahan bakar yang tertahan 12 hari di Pelabuhan Kalianget, Kabupaten Sumenep, Jatim, akhirnya diberangkatkan ke Pulau Kangean.
Di Pelabuhan III Kalianget, Kapal Motor Dharmabahari Sumekar I sudah diberangkatkan ke Pulau Kangean, Selasa (18/1) pagi. Bersama penumpang, setidaknya 20 mobil dengan bawaan sekitar 30 ton bahan makanan dan sandang terangkut. (SIN/RAZ/BEE/HEN/WIE/DIK/HAN/SEM/RIZ)