Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Desa Kemiren yang Kental Osingnya

Kompas.com - 08/01/2011, 03:35 WIB

Ada Penampan, acara menyambut puasa Ramadhan yang diselenggarakan sehari sebelum tibanya hari pertama puasa. ”Saat ini warga saling kunjung untuk mengadakan dzikiran atau yasinan, dilanjutkan dengan makan bersama. Kalau ada sepuluh rumah yang dikunjungi dan harus makan (di setiap rumah tersebut), hanya kerupuk yang mampu dikunyah,” ujar Adi Purwadi, Ketua Adat Osing, warga Desa Kemiren.

Kemudian Ider Bumi, acara yang digelar hari kedua setelah Lebaran pada pukul 14.00. ”Angka dua di sini mengingatkan kebesaran Ilahi yang telah menciptakan manusia laki-perempuan, terjadinya siang-malam,” katanya seraya menambahkan, pesan yang sama diindikasikan pada acara jemur kasur tiap tanggal 1 Zulhijah.

Kasur itu sisinya berwarna merah dan bagian atasnya berwarna hitam. Merah melambangkan semangat, hitam menyimbolkan kebenaran. ”Arti simboliknya boleh jadi, ’orang harus mengatur ritme hidupnya yang dilandasi semangat dan optimisme, antara aspek materi dan spiritual harus seimbang, ada batasnya. Karenanya, kalau malam, ya, istirahatlah yang benar sehingga esoknya badan sehat, segar-bugar, dan bersemangat mencari rezeki buat keluarga,” kata Adi menjelaskan.

Darah-daging

Berkesenian telah mendarah- daging dalam kehidupan warga desa ini. Seni baca mocoan, misalnya, masih dipertahankan. Ini melibatkan kalangan tua, dewasa, dan anak-anak.

Saat Kompas ke Desa Kemiren, Selasa (23/11) malam, tengah berlangsung mocoan di salah satu rumah warga. Suara para jemaah saling bersahutan, menyenandungkan syair Kisah Nabi Yusuf.

Naskah mocoan ini beraksara Arab dan berbahasa Jawa Kuno. Mocoan dilaksanakan sekali sepekan, digelar pada Selasa malam atau reboan bagi anak muda, dan Rabu malam atau kemisan bagi kelompok dewasa.

Yang paling gres adalah seni tari gandrung, dan dari desa inilah antara lain lahir seniman tari gandrung yang dijadikan ikon Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Sebutlah Mbok Temu (65), warga Dusun Kedaleman, Desa Kemiren.

Temu mencapai masa keemasan pada 1970-1980. Hingga kini ia aktif memenuhi undangan pentas, dan masih digandrungi masyarakat. Ia juga aktif menurunkan keterampilan kepada calon penari gandrung.

Hanya saja, mengandalkan hidup dari hasil berkesenian mungkin terlalu muluk. Mbok Temu, contohnya, sekali pentas dibayar Rp 1 juta. Uang ini pembagiannya: 40 persen untuk penari, sedangkan sisanya 60 persen untuk kelompok musik pengiring. Artinya, Temu hanya mendapat Rp 400.000 selama menari dari pukul 19.30 hingga pukul 03.00-04.00 hari berikutnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com