Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Haji "Sandal Jepit"? Alamaaak...

Kompas.com - 16/12/2010, 03:32 WIB

Jemaah nonkuota asal Indonesia itu tak hanya berbekal visa haji yang dikeluarkan Kedubes Arab Saudi di Jakarta, tetapi juga lewat kedubes mereka di negara-negara lain. Tahun ini, misalnya, sekitar 200 jemaah nonkuota Indonesia mendapat visa dari Kedubes Arab Saudi di Amman, Jordania.

Oleh pihak muassasah, jemaah nonkuota itu ditempatkan di maktab khusus—Maktab 17 (nonreguler), baik saat di Arafah-Mina maupun dalam sistem birokrasi pengontrolan orang berikut paspornya dari dan ke Mekkah-Madinah. Regulasi birokrasi semacam ini berlaku untuk semua jemaah haji yang masuk ke Arab Saudi. Selain dimaksudkan memberi kenyamanan, pengelompokan itu juga untuk mencegah jemaah over stay dan terlambat meninggalkan Arab Saudi. Lewat mekanisme semacam ini hampir tak ada celah bagi jemaah nonkuota menyelusup, lalu tinggal di Arab Saudi, dan cari kerja sebagaimana dikhawatirkan.

”Bagi kami tak ada masalah,” kata Zuhair Abdul Hamid Sedayu, Ketua Muassasah Pemandu Haji Asia Tenggara (The Establishment of Motowifs of South East Asia Pilgrims).

Sejak dua tahun terakhir memang ada perubahan dalam hal penggunaan paspor untuk berhaji. Sebelumnya, jemaah yang berangkat ke Tanah Suci harus dengan paspor khusus (populer dengan sebutan paspor coklat) yang dikeluarkan Kementerian Agama. Artinya, pemegang visa haji jalur nonkuota pun tetap harus berurusan dengan petugas Kementerian Agama.

Akan tetapi, ketika tiba-tiba pada musim haji tahun 2009 Pemerintah Arab Saudi menetapkan seluruh jemaah harus menggunakan paspor internasional, hubungan itu terputus. Sejak itu pula, berbekal paspor (hijau) yang dikeluarkan Kantor Imigrasi, pihak biro jasa penyelenggara perjalanan haji langsung berurusan dengan penyelia mereka yang mengurusnya di Kedubes Arab Saudi di Jakarta.

”Keberadaan jemaah haji nonkuota bukan hal baru, dan selama ini tidak ada masalah. Baru tahun ini saja dibesar-besarkan. Kalau memang pemerintah menganggap ini masalah, mestinya para penyelenggara perjalanan haji yang memberangkatkan mereka diajak duduk bersama, dicarikan jalan keluar, bukan malah dimusuhi,” kata Syarkowie Ghozali, Ketua Umum Pengurus Pusat Asosial Bina Haji dan Umroh (Asibhu) Nahdlatul Ulama.

Sengaja dimarjinalkan

Semangat ”memusuhi” keberadaan jemaah nonkuota makin kentara saat di Tanah Suci. Selain dituding melanggar aturan, jemaah nonkuota juga seperti sengaja dimarjinalkan, bahkan dipersulit mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara pemegang paspor Indonesia.

Seorang petinggi Kementerian Agama RI bahkan secara khusus menemui Zuhair Sedayu, meminta pihak muassasah tidak melayani jemaah haji nonkuota asal Indonesia. ”Pemerintah Anda tidak menghendaki haji nonkuota,” katanya.

Bagi Zuhair, permintaan semacam itu terdengar aneh. Bagaimana mungkin pemerintah suatu negara ingin ada sekelompok warga bangsanya yang sudah berada di Tanah Suci, datang sebagai tamu Allah untuk menjalankan salah satu rukun Islam, justru dimintakan agar dibiarkan telantar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com