Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Iklan Pejabat, Narsis atau Eksibisionis

Kompas.com - 18/11/2010, 09:11 WIB

Mesin-mesin mahal buatan Korea itu sekarang ini justru lebih banyak menganggur daripada bekerja. RPC yang terletak di Desa Nusantara Jaya, Keritang, Indragiri Hilir, kini terancam menjadi besi tua karena tidak ada pekerjaan penggilingan. Sawahnya tidak ada. Di Bengkalis, RPC yang dibeli dengan biaya sangat mahal itu bernasib serupa.

RPC Bengkalis yang terletak di Desa Sepotong, Kecamatan Bukitbatu, memiliki kapasitas besar dengan kemampuan menggiling padi tiga ton per jam atau 50 ton per hari. Sawah di desa itu diperkirakan hanya seluas 500 hektar. Dengan asumsi panen mencapai dua ton per hektar, total panen mencapai 1.000 ton.

Pola tanam padi di Bengkalis masih tadah hujan, sekali tanam dalam satu tahun. Jadi, jika seluruh panen petani digiling di RPC, pabrik itu hanya bekerja selama 20 hari dalam setahun. Namun, petani sendiri enggan menjual padi ke RPC karena harganya lebih murah dibandingkan dengan di 13 kilang padi warga yang sudah ada sebelumnya.

Keberadaan RPC itu menjadi sorotan karena diduga digelembungkan dengan kerugian negara miliaran rupiah. Anggota DPRD Bengkalis, Azmi Rozali, berulang kali meminta aparat hukum di Riau sampai ke Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa proyek pembangunan bermasalah yang ditinggalkan mantan Bupati Syamsurizal, yang kini sudah menjadi bos pengawas, Kepala Inspektorat Provinsi Riau. Namun, teriakan Azmi itu seakan tidak mendapat sambutan.

Target swasembada beras Riau 2013 boleh dikatakan sangat muluk dan sulit dicapai. Berdasarkan data Scale Up, sebuah LSM Riau pemerhati kelapa sawit, laju perubahan areal pertanaman padi menjadi perkebunan kelapa sawit mencapai 9.000 hektar per tahun.

Kalaupun Dinas Tanaman Pangan Riau mampu mencetak sawah baru sebanyak 3.000 hektar per tahun, angka itu tidak akan mampu mengejar laju konversi sawah menjadi kebun sawit. Apalagi harga tandan buah segar kelapa sawit di pasaran semakin hari semakin mahal.

Dengan areal dua hektar saja, petani sawit dapat mengantongi uang sebesar Rp 4 juta per bulan, bersih. Adapun sawah seluas dua hektar asumsi panen dua ton per hektar dan harga gabah 4.000—maksimal sebesar Rp 16 juta untuk satu tahun, atau hanya Rp 1,3 juta per bulan, kotor. Dengan catatan, petani bekerja keras, maksimal, dan didukung cuaca bagus. Kalau tidak, perolehan angka Rp 1 juta per bulan itu sulit.

Jadi, tidak jelas arah iklan pembangunan Pemerintah Provinsi Riau itu. Mau bercuap-cuap tentang keberhasilan, data dan informasinya semu. Padahal, biaya iklan yang bersumber dari duit rakyat itu tidak sedikit.

O ya, mejeng di koran memang tabiat dan budaya khas pejabat di Riau. Tidak ada iklan advertorial Pemprov Riau pun, setiap hari sedikitnya empat koran besar di Riau memasang kegiatan pemerintah kabupaten dan kota se-Riau sepanjang tahun, dengan biaya APBD tentunya. Halaman itu telah dikavling-kavling, dan hanya boleh berisi berita positif tentang pembangunan atau aktivitas pejabat di kabupaten atau kota itu semata. Berita negatif dilarang masuk dalam halaman kavling itu.

Apalagi saat ini menjelang peilkada. Kepala-kepala daerah petahana itu  nyata-nyata menjadikan kavlingan halaman koran sebagai ajang kampanye dini buat dirinya agar dipilih kembali. Tiba-tiba saja, kepala daerah yang akan maju itu begitu dekat dengan rakyat.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com