Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menghidupkan Sanggar Tari Dayak

Kompas.com - 09/09/2010, 03:47 WIB

Memang tak semua tarian Dayak bisa dikreasi dan ditampilkan untuk umum, seperti tarian bunser untuk aruh buntang.

Halaman rumah

Di halaman rumahnya yang tak terlalu luas di Desa Warukin, Kecamatan Tanta, Tabalong, Kalimantan Selatan, inilah Andreas melatih anak muda suku Dayak Maanyan menekuni tari di Sanggar Batung Mira Putut. Sanggar yang ia dirikan tahun 2002 itu memiliki arti menggabungkan pohon-pohon bambu menjadi satu rumpun. Batung berarti bambu, mira adalah rumpun, dan putut itu pohon.

Nama sanggar itu bermakna ”dalam”, yakni berusaha merangkul potensi masyarakat yang belum terolah menjadi sebuah kesatuan dan bermanfaat.

Sebelum ada Batung Mira Putut, di Warukin sebenarnya ada Sanggar Matunen (nama salah satu tokoh setempat) yang berdiri tahun 1970-an. Andreas juga salah satu pelopor berdirinya sanggar itu. Namun, dalam perkembangannya, Sanggar Matunen kembang kempis, tak ada kreativitas, dan banyak dikritik.

”Kembang kempisnya Matunen karena banyak masalah, seperti penari ada yang kawin, ada yang tak mau belajar, dan ada yang sekolah. Generasi penerus tak ada, mereka tak tertarik karena tariannya itu-itu saja. Kalau tampil di mana-mana sering dikritik,” tuturnya.

Sanggar Batung Mira Putut baru berkembang pesat tiga tahun terakhir. Sebelumnya, Andreas berguru ke luar daerah menimba ilmu bagaimana menata manajemen sanggar yang baik. Salah satu tempat yang ditujunya adalah Padepokan Tari Bagong Kussudiardjo di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Andreas juga pernah mengajari mahasiswa Institut Seni Indonesia Yogyakarta mengenai tarian Dayak dan musik kenong selama sepekan pada 1991. Alat musik yang sering dipakai masyarakat Dayak Maanyan adalah kenong, babun, dan gendang karempet. Dari situ pula dia mendapat masukan bagaimana mengkreasikan musik, kostum, pola dasar penguasaan panggung, dan masalah lain yang berkaitan dengan pentas.

Hasil pentas

Untuk berlatih tari tak ada kendala khusus yang dihadapi Sanggar Batung Mira Putut, kecuali tempat latihan yang lebih representatif. Para penari berlatih dua kali sebulan di halaman rumah Andreas yang ditumbuhi pohon kelapa sawit. Meski terbatas, ia enggan meminta fasilitas tempat latihan kepada pemerintah daerah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com