Defri Werdiono
Masyarakat Dayak memiliki banyak tarian ritual yang sifatnya sakral. Setiap ada kegiatan, tarian-tarian tersebut selalu mengiringi, baik itu untuk keperluan upacara adat menyambut panen, perkawinan, hingga upacara yang berkaitan dengan kematian.
S
Ritual ini pun dilakukan berhari- hari, bahkan ada yang sampai tujuh hingga sembilan hari, seperti pada
Fenomena yang sudah berlangsung turun-temurun sejak leluhur ini menggelitik benak Andreas Buje. Bersama warga lainnya, pada tahun 1992 ia berusaha membuat kreasi baru. Tarian yang semula hanya dipentaskan pada waktu-waktu tertentu kemudian ”disulap” menjadi tontonan masyarakat yang siap pentas setiap waktu.
Alhasil, sejumlah tarian, seperti gelang dadas, gelang bawo, giring-giring, bahalai (selendang), hingga tarian mandau (perang), diadaptasi menjadi gerakan baru yang bisa disuguhkan untuk penyambutan tamu, pentas hajatan, hingga diikutsertakan dalam festival tari.
Menurut Andreas, tak ada masalah dengan filosofi tarian karena ada perbedaan mendasar antara hasil kreasi dan tarian yang disuguhkan untuk upacara adat. Perbedaan itu terletak pada gerakan tari dan kelengkapannya.
Pada tarian untuk upacara adat, gerakan penari biasanya tak tertata, mengikuti hasil ”kontak batin” penari dengan Yang Di Atas. Bahkan, tak jarang mereka kesurupan. Sementara pada tarian kreasi, semua gerakan dan musiknya diatur sedemikian rupa.
Selain itu, tari kreasi tak membutuhkan sesaji yang menjadi unsur utama pada tarian untuk kegiatan adat. Meski ia mengakui tak membicarakan masalah ini secara khusus dengan para tokoh adat.
”Di sini kami menata gerakan dan musiknya. Saya yang menata musik sekaligus menata ragam gerak. Sementara guru tarinya Ardianto,