Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menghidupkan Sanggar Tari Dayak

Kompas.com - 09/09/2010, 03:47 WIB

Defri Werdiono

Masyarakat Dayak memiliki banyak tarian ritual yang sifatnya sakral. Setiap ada kegiatan, tarian-tarian tersebut selalu mengiringi, baik itu untuk keperluan upacara adat menyambut panen, perkawinan, hingga upacara yang berkaitan dengan kematian.

Selain sifatnya sakral, tarian Dayak juga memiliki ciri khas yang membedakan dengan tarian lain, yakni umumnya dimainkan dalam waktu lama. Tak jarang, dalam sebuah upacara (aruh), para pemimpin spiritual masyarakat Dayak (balian) menari semalam suntuk dengan jeda istirahat hanya sejenak.

Ritual ini pun dilakukan berhari- hari, bahkan ada yang sampai tujuh hingga sembilan hari, seperti pada aruh ganal (upacara menyambut panen), maupun aruh buntang (ritual menaikkan arwah orang yang sudah meninggal dari alam kubur ke alam roh).

Fenomena yang sudah berlangsung turun-temurun sejak leluhur ini menggelitik benak Andreas Buje. Bersama warga lainnya, pada tahun 1992 ia berusaha membuat kreasi baru. Tarian yang semula hanya dipentaskan pada waktu-waktu tertentu kemudian ”disulap” menjadi tontonan masyarakat yang siap pentas setiap waktu.

Alhasil, sejumlah tarian, seperti gelang dadas, gelang bawo, giring-giring, bahalai (selendang), hingga tarian mandau (perang), diadaptasi menjadi gerakan baru yang bisa disuguhkan untuk penyambutan tamu, pentas hajatan, hingga diikutsertakan dalam festival tari.

Menurut Andreas, tak ada masalah dengan filosofi tarian karena ada perbedaan mendasar antara hasil kreasi dan tarian yang disuguhkan untuk upacara adat. Perbedaan itu terletak pada gerakan tari dan kelengkapannya.

Pada tarian untuk upacara adat, gerakan penari biasanya tak tertata, mengikuti hasil ”kontak batin” penari dengan Yang Di Atas. Bahkan, tak jarang mereka kesurupan. Sementara pada tarian kreasi, semua gerakan dan musiknya diatur sedemikian rupa.

Selain itu, tari kreasi tak membutuhkan sesaji yang menjadi unsur utama pada tarian untuk kegiatan adat. Meski ia mengakui tak membicarakan masalah ini secara khusus dengan para tokoh adat.

”Di sini kami menata gerakan dan musiknya. Saya yang menata musik sekaligus menata ragam gerak. Sementara guru tarinya Ardianto, balian dari Kalimantan Tengah yang diundang untuk melatih gerakan dasar, seperti bunyi gelang begini, gerakan gelang begitu,” ucapnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com