Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Balik Gempita MIFEE

Kompas.com - 06/08/2010, 04:07 WIB

Bagi para pengusaha seperti Siswono Yudo Husodo, pemilik PT Bangun Tjipta Sarana, dan Arifin Panigoro, pemilik Medco Group, langkah Bupati Merauke Johanes Gluba Gebze layak diacungi jempol. Siswono berpendapat, Gluba Gebze mampu mengangkat potensi Merauke dan membuat daerah yang dinilai masih asli itu terbuka terhadap dunia luar.

Bahkan, semangat bupati menjadikan Merauke sebagai lumbung pangan mereka dukung. Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu PT Bangun Tjipta Sarana menancapkan bendera usaha di wilayah itu. Demikian juga dengan Medco. Setidaknya hingga saat ini terdapat 36 perusahaan yang tertarik berinvestasi di wilayah itu.

Jika melintasi Serapu di Distrik Semangga ke arah Kumbe, banyak lahan pertanian dibuka. Beberapa di antaranya merupakan sawah percontohan untuk proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) atau pengembangan pertanian pangan dan bahan bakar nabati berskala luas.

Demikian juga di beberapa distrik lain, seperti Kurik dan Salor. Petak-petak sawah percontohan dibuka. Hal itu menampakkan betapa getolnya Pemerintah Kabupaten Merauke mendorong perwujudan program itu. Apalagi, pada Agustus pemerintah pusat berniat meluncurkan desain besar program itu.

Kendala

Meski demikian, tampaknya program itu akan segera menemui kendala. Salah satunya adalah kesiapan warga terlibat aktif dalam program itu. Di Onggari, misalnya, meski warga telah diperkenalkan dengan pola pertanian sawah, mereka belum mampu mandiri mengembangkannya.

Menurut tokoh masyarakat, Onggari Martinus Ndiken (60), pemerintah telah membantu warga membuka 100 hektar lahan yang kemudian dibagikan kepada warga untuk dikerjakan. Namun, menurut Martinus, warga belum mengelola lahan karena tidak yakin akan mampu menggarap. Modal pun menurut Martinus belum tersedia.

Di salah satu desa transmigrasi di Semangga, sebuah distrik di pinggiran Kota Merauke, petani-petani di desa itu juga belum mendengar program pengembangan pertanian berskala luas tersebut.

Bahkan, mereka terkejut ketika mendengar dalam proyek percontohan pengelolaan sawah di Merauke dihasilkan padi tujuh ton per hektar. ”Selama ini kami hanya mampu menghasilkan paling banyak lima ton gabah per hektar,” kata Nurhadi (40), petani asal Brebes, Jawa Tengah, yang sejak tahun 1983 menjadi transmigran di Merauke.

Selama ini ia juga hanya mampu menanami lahannya dengan padi sekali dalam setahun. ”Pasokan air tawar tidak mencukupi,” tutur Nurhadi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com