Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Balik Gempita MIFEE

Kompas.com - 06/08/2010, 04:07 WIB

Jika memaksakan diri menanam dua kali dalam setahun, petani harus menyediakan pupuk dalam jumlah besar. Itu menurut dia juga sulit karena, selain modal harus besar, pasokannya pun selalu terbatas.

Minim sarana

Selain itu, sebagaimana dikemukakan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, minimnya daya dukung infrastruktur, seperti jalan dan listrik, membuat para investor mulai menimbang kembali rencana mereka berinvestasi di Merauke.

Namun, pemilik PT Bangun Tjipta Sarana, Siswono Yudo Husodo, tetap optimistis dengan misi perusahaannya di Merauke. Apalagi di Merauke pengembangan pertanian pangan dapat dilakukan dengan mekanisasi tingkat tinggi yang tidak dapat diterapkan di wilayah lain di Indonesia.

Potensi itu menurut dia dapat menekan biaya produksi. Meskipun saat ini kinerja usahanya di Merauke terhenti karena persoalan infrastruktur, pihaknya tetap berminat mengembangkan usaha di wilayah tersebut. ”Untuk sementara, traktor-traktor disimpan di gudang,” tutur Siswono.

Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi mengakui tersedianya infrastruktur yang memadai menjadi salah satu persoalan. Apalagi, tak ada dana khusus dari APBN dan APBD yang disediakan untuk itu.

Sejauh ini, pihaknya telah mengajak para investor turut memikirkan persoalan itu. Memang, pengembangan MIFEE akan jauh lebih cepat, tutur Bayu, jika infrastruktur disediakan pemerintah. Faktanya, pemerintah tampak tidak sanggup menyediakan. Jembatan Sungai Kumbe yang roboh pun hingga saat ini belum dibenahi. Banyak jalan ke wilayah-wilayah yang akan dikembangkan sebagai kawasan sentra produksi pertanian rusak. Jika hujan turun, jalan tanah liat itu sulit melintasi.

Kelestarian lingkungan

Di sisi lain, Menteri Kehutanan juga telah mewanti-wanti agar pengembangan program itu tidak merusak keragaman hayati dan kawasan hutan di wilayah itu. ”Prinsipnya, pembangunan berkelanjutan, ramah lingkungan, dan menjaga betul lingkungan agar tidak terdegradasi,” tutur Menteri.

Ia pantas gelisah jika mengingat kelakuan buruk investor di beberapa tempat yang hanya ingin meraup untung dengan hanya mengambil kayu dari lahan konsesi lalu pergi begitu saja dengan meninggalkan lahan kosong tak terurus.

Di Merauke, deretan lahan seperti itu tampak jelas di kawasan Serapu. Beberapa papan nama perusahaan berdiri tegak di pinggiran lahan yang kosong melompong ditumbuhi semak belukar.

Bagi masyarakat adat Malind-Anim yang menghuni Merauke, sikap-sikap seperti itu menyakitkan hati mereka. Dalam pandangan kosmologis mereka, tanah tidak hanya menjadi sumber hidup, tetapi juga terikat erat dengan identitas diri. Jika ruang kosmologis itu rusak, rusak pula tatanan hidup masyarakat adat Malind-Anim.

Melihat semua persoalan itu, tampaknya pemerintah harus berpikir ulang untuk melanjutkan program tersebut. Meski memiki potensi besar, persiapan dan penguatan sumber daya manusia tidak dapat dilakukan dengan ala kadarnya. (JOS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com