Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Juki dan Hip-hop Jawa

Kompas.com - 08/06/2010, 15:40 WIB

Gelisah

Sebenarnya hip-hop bukanlah aliran musik pertama yang dipilih Juki. Lelaki yang tidak lulus Madrasah Aliyah Negeri 1 Yogyakarta itu sebelumnya banyak berteman dengan para seniman jalanan. Lewat cara semacam magang itulah dia, antara lain, belajar seni grafis dan teater.

Di dunia hip-hop, Juki dikenal dengan nama panggung Kill The DJ. Nama itu baru dipakainya tahun 2001. Alasannya, ketika itu dia melihat sebagian kaum muda mendewakan rave party (pesta semalam suntuk dengan elektronik musik yang dimainkan para DJ).

”Mereka terlalu menyanjung DJ-nya,” kata Juki yang lalu ingin ”menjungkirkan” anggapan tersebut lewat namanya, Kill The DJ. Terkadang dia menggunakan nama Chebolang, terutama untuk garapan desain grafisnya. Ini merupakan sosok kontroversial dalam kitab berbahasa Jawa, Serat Centhini, yang selalu gelisah mencari jati diri.

Juki tampaknya merasa kegelisahan seperti dialami Chebolang juga menimpa dirinya. Juki mencontohkan, saat mendengar rekaman telepon Anggodo Widjojo dengan beberapa orang yang diputar dalam sidang Mahkamah Konstitusi, dia merasa harus menyalurkan kegelisahannya. Maka muncullah lagu Cecak Nguntal Boyo, yang dia nyanyikan saat ikut berunjuk rasa di Jakarta.

Lagu itu lalu dia daftarkan menjadi ring back tone (RBT). Dari lima provider yang ditawarinya, dua di antaranya menerima Cecak Nguntal Boyo untuk RBT dan hasilnya menjadi dana kampanye antikorupsi.

Bahasa ibu

Meski hip-hop jawa relatif tak mendatangkan keuntungan materi besar, Juki tetap menekuninya. Untuk mempertahankan keberadaan hip-hop jawa, 40 kitab berbahasa Jawa koleksinya menjadi sumber inspirasi bagi Juki yang tak ada habisnya.

”Menghidupkan bahasa ibu (bahasa Jawa) itu bentuk pertanggungjawaban. Kalau puisi jawa cuma tersimpan dalam lembaran kitab, dia akan berjarak dengan publik. Saya ingin menjadikannya sebagai milik publik,” kata Juki yang tampil dengan hip-hop jawa dalam Urbanfest 2007 di Ancol, Jakarta.

Juki bercerita, dia tertarik pada kitab berbahasa Jawa justru ketika berada di Perancis untuk mendalami musik elektronik pada 2000. ”Mungkin karena saya berada di luar negeri, jadi ada jarak dengan tanah kelahiran maka bahasa dan budaya Jawa menjadi hal penting. Saya malu, ternyata saya tidak tahu apa-apa tentang budaya dan bahasa ibu sendiri,” ujar pria yang dibesarkan di lingkungan pesantren karena sang ayah seorang ustaz.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com