Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wuri Mendobrak Diskriminasi

Kompas.com - 04/06/2010, 17:54 WIB

Sebelum mendaftar CPNS, Wuri melamar di Fakultas Ekonomi Unair sampai enam kali. Dari pemimpin fakultas, ia mengetahui ketidaklulusannya sebagai calon pengajar bukan karena ketidakmampuan akademik, melainkan karena berkursi roda. Padahal, selama empat tahun Wuri kuliah berlangsung tanpa masalah.

Untuk melawan diskriminasi dan mengadvokasi penyandang cacat atas haknya, ia mendirikan lembaga swadaya masyarakat D’Care atau Diffable (different ability) Care.

Secara resmi D’Care berdiri Februari 2006, tetapi gerakannya dimulai pada 2003. Lembaga itu tumbuh dari keresahan Wuri. LSM bidang hukum yang mengurusi hak asasi manusia, kelompok perempuan yang menangani kekerasan domestik sudah banyak, tetapi pendampingan untuk penyandang cacat nyaris tak ada. Kalaupun ada organisasi yang memerhatikan penyandang cacat, fokusnya hanya pada pelatihan, stimulasi, dan pemberdayaan.

Lembaga yang mengadvokasi penyandang cacat dan kebijakan pemerintah belum ada. D’Care mengisinya dan penelitian menjadi bagian dari visi-misi mereka.

Kebijakan D’Care bersama aktivis penyandang cacat terus memerhatikan berbagai aspek kehidupan. Ketika Pemprov dan DPRD Jatim menggodok Rancangan Peraturan Daerah tentang Pelayanan Publik, para aktivis ini tak ketinggalan. Satu pasal yang menyebutkan semua pelayanan publik harus menyediakan fasilitas yang bisa diakses penyandang cacat, manusia lanjut usia (manula), dan perempuan hamil berhasil dimasukkan pada Perda Jatim Nomor 11 Tahun 2005 itu.

D’Care bersama aktivis penyandang cacat juga menyurvei Bandara Juanda saat baru dibangun. Beberapa kekurangan, seperti pintu toilet khusus difabel yang sulit dibuka dan mozaik lantai yang tak membantu mengarahkan orang dengan kemampuan penglihatan rendah (low vision) disampaikan. Sayang, belum ada perbaikan.

Sebaliknya, Pemkot Surabaya menanggapi kritik pada trotoar kota yang awalnya setinggi 50-60 cm, tanpa bagian landai. Proyek pedestrian Kota Surabaya pada 2009-2010 sudah lebih manusiawi. Tingginya sekitar 20 cm dan ada bagian yang landai.

Tak hanya kaum difabel yang menikmati fasilitas itu, warga lain pun lebih nyaman dan tak berisiko jatuh. Namun, seperti kata Wuri, diskriminasi terhadap difabel dan kaum marjinal lainnya masih banyak terjadi.

Tahun lalu, siswa tunanetra ditolak masuk madrasah aliyah di Sidoarjo. Alasannya, tak ada guru sekolah luar biasa ataupun materi berhuruf braille. Wuri menyarankan sekolah itu mengetes kemampuan siswa membaca Al Quran. Akhirnya, siswa itu diterima dan sampai kini tak bermasalah.

Anak tunanetra, kata Wuri, tak selalu memerlukan guru khusus. Cukup guru mengucapkan apa yang ditulis di papan tulis. Materi bisa diberikan dalam bentuk softcopy dan siswa mempelajarinya lewat komputer berprogram khusus.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com