Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar dari Konflik Kepengurusan KBS

Kompas.com - 23/02/2010, 16:27 WIB

Oleh Jidi

Tahapan konflik kepengurusan Kebun Binatang Surabaya benar-benar menjadi seperti tontonan. Tontonan yang dimaksudkan bukan lucunya tingkah binatang, bukan perkelahian dua satwa, atau pertunjukan hewan yang menggemaskan. Saat ini yang menjadi tontonan justru aksi rebutan status antarkubu pengurusnya.

Bahkan, konflik yang sudah mencuat hampir setengah tahun itu, berpotensi berkembang menjadi komoditas politik. Sebab, persoalan itu mulai menjadi rebutan antarkomisi di DPRD (Kompas Edisi Jatim, 17 Februari 2010).

Sengketa yang berlarut-larut itu memantapkan deret panjang jumlah konflik kepengurusan yayasan di Surabaya yang gagal bermusyawarah. Cara-cara elegan dengan retorika yang santun makin sulit diterapkan. Mirip dengan insiden penggusuran, seakan-akan tidak ada cara lain menyelesaikan permasalahan selain dengan otot dan tensi yang selalu tinggi. Cara tempuh yang bernilai teladan dan pendidikan masyarakat seperti tidak efektif lagi.

Yang lebih memilukan, apabila cara penyelesaian masalah secara embongan justru terjadi di kalangan elite yang notabene berpendidikan. Dalam sidang Dewan pernah terjadi perkelahian. Tidak kalah dengan oknum elite Jakarta yang royal dengan kata-kata kasar terhadap sesama anggota pansus atau yang menimpuk wajah sesama mitra diskusi karena emosi.

Dari konflik KBS yang sudah terpublikasi luas itu, setidaknya ada beberapa hal yang dapat dipungut sebagai peringatan. Minimal oleh penulis sendiri yang juga seorang pendidik yang telah lama menjadikan KBS sebagai salah satu sumber belajar bagi murid-muridnya.

Pertama, betapa kesantunan sudah begitu mahal dan tidak selalu berbanding lurus dengan tingkat pendidikan atau kelas sosial seseorang. Indikasinya tidak sedikit konflik antarelite yang dengan latah mengadopsi cara embongan sebagai cara penyelesaian.

Kedua, masyarakat ini makin doyan menggunakan jalan pintas, meski dengan memaksakan kehendak. Seakan-akan tanpa otot sebesar lengan atau gontok-gontokan matilah langkah dalam mengelola masalah. Cara tak elegan diadopsi untuk pengelolaan konflik tidak hanya pada institusi yang menghasilkan gula-gula keuntungan, tetapi juga dipinang pada pengelolaan konflik di yayasan sosial, pendidikan, bahkan di yayasan yang mengurusi tempat ibadah.

Tahapan silang sengketanya hampir sama, tumbuh friksi, muncul kubu-kubu internal yang mengklaim paling berjasa, lalu beranak pinak hingga terbentuk kepengurusan ganda. Kepengurusan ganda itulah yang memunculkan pertarungan.

Ketiga, ada indikasi bebal dan tumpulnya pemahaman terhadap bahasa santun, retorika, serta loyo dalam bernegosiasi. Tahun lalu untuk memakai helm standar demi keselamatan diri sendiri saja orang masih diiming-imingi hadiah atau diancam dengan sanksi denda terlebih dulu. Agar tidak membolos dinas, pegawai negeri sipil masih diancam dipecat. Untuk pelan-pelan, pengendara di kampung masih perlu diumpat. Untuk tidak kencing di sembarang tempat, orang masih perlu diolok. Karena itu, di gang-gang kota ini dengan gampang kita menemukan plakat-plakat peringatan bernada tinggi hingga ancaman.

Keempat, makin sedikit jumlah orang atau kelompok yang dengan kesadaran sendiri mau mengalah untuk menopang kepentingan bersama yang lebih besar. Terjadi fanatisme kelompok secara berlebihan. Kelompok sendiri terkultuskan menjadi gengsi. Ada ambisi tinggi untuk menang meski seharusnya bisa sama-sama menang.

Kelima, semakin minim kecerdasan sosial dan bahasa atau lingual sehingga permasalahan antarpihak sering identik dengan bibit unggul pertengkaran. Seakan-akan orang menjadi paham dan taat bila sudah mendapat bentakan, umpatan, ancaman, atau sederet sanksi.

Prinsip kemaslahatan

Butir-butir peringatan atau pelajaran yang dapat ditemukan barangkali hanya akan memperpanjang tulisan. Meski konflik sudah berstadium lanjut, mestinya kedua kubu pengurus KBS konsekuen dengan islah yang pernah dicanangkan. Belum terlambat untuk mempersamakan standar dan sudut pandang penyelesaian persoalan. Perlu dipancangkan bersama standar dengan prinsip kemaslahatan.

Good will dan sikap legawa kedua belah pihaklah yang memegang kunci penyelesaian. Apalagi upaya berbagai pihak, seperti Pemkot Surabaya, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), serta Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) tidak menghasilkan penyelesaian.

Perlu pencanangan visi bersama bahwa KBS menjadi aset yang memberi kemaslahatan kepada publik. KBS hendaknya tidak secara berlebihan diorientasikan sebagai aset yang mendatangkan laba besar atau sapi perahan yang justru akan melibas tuntas misi pengabdian para pengurusnya.

Kedua pihak hendaknya menghentikan penggalangan kekuatan fisik atau melibatkan massa yang membahayakan, potensial memunculkan permasalahan baru, dan mencoreng perangai sosial masyarakat Surabaya. Bukankah Bonek saja bisa dijinakkan?

Tak ada jeleknya pihak-pihak yang pernah menjadi mediator untuk proaktif kembali. Perlu ditawarkan ulang konsep kepengurusan kolegial. Perlu penandasan prinsip dan motivasi luhur bahwa asal ada kemauan yang tulus, tidak ada masalah yang tidak terselesaikan. Tidak akan berlanjut konflik yang sudah berkepanjangan. Tidakkah lelah bila kedua kubu terus menyambung pertengkaran?

Pada akhirnya, kalau motifnya konservasi dan untuk melayani kepentingan umum, tidakkah perlu menyambut wacana dan iktikad baik Pemkot Surabaya untuk mengambil alihnya? Toh tanah lahannya sudah milik Pemkot. Bila KBS ke depan berbentuk BUMD, misalnya, barangkali tidak terlalu sulit untuk mencarikan jalan keluar bagi para karyawannya. Mudah-mudahan segera disepakati solusi yang terbaik.

Jidi Pendidik di Lembaga Pendidikan Al Falah Surabaya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com