Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mereka Shalat Sehari Sekali, Kiblatnya Gunung Karmel

Kompas.com - 26/10/2009, 09:42 WIB

Dalam penanganan ajaran Baha’i ini, Abu mengatakan bahwa MUI masih menyelidikinya, apakah termasuk ajaran sesat atau melanggar, sedangkan Depag menangani masalah surat nikah yang dicetak pengikut Baha’i.

Namun untuk penyelesaiannya, masalah agama baru ini akan diserahkan kepada negara, dalam hal ini Depag dan instansi yang berwenang lainnya, untuk memutuskan apakah ajaran Baha’i diperbolehkan berkembang.

“Sebab, pengikutnya juga minta agar dalam pengurusan KTP dicantumkan agama Baha’i, padahal agama yang resmi diakui pemerintah ada 6, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu,” katanya.

Secara terpisah, Kasi Urais Depag Tulungagung Kusnan Thohari ketika dikonfirmasi mengenai keberadaan ajaran Baha’i mengatakan bahwa pihaknya bersama MUI sudah mengambil sikap, yakni melakukan pendekatan agar para pengikut ajaran Baha’i tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum.

“Secara kelembagaan, Depag menghormati setiap penganut kepercayaan atau aliran, dengan syarat tidak melanggar aturan hukum yang ada. Baha’i bukan agama, tapi ajaran atau aliran saja. Agama yang diakui pemerintah hanya ada enam,” tutur Kusnan.

Mengenai aturan pernikahan harus sesama pengikut Baha’i dan menerbitkan akta sendiri, hal itu menurutnya jelas melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan.

Untuk agama Islam dicatat di KUA dan non-Islam di Catatan Sipil. Hal inilah yang menurut Kusnan melanggar hukum, yang pengusutannya sepenuhnya diserahkan kepada kepolisian.

“Sebenarnya, Baha’i pernah muncul sekitar tahun 1967. Namanya Islam Baha’I, tapi tetap mengakui agamanya Islam. Kalau yang sekarang Baha’i saja, maka Depag berusaha menyikapinya dengan hati-hati, jangan sampai mengganggu stabilitas dan kerukunan antar-umat beragama serta penganut kepercayaan maupun aliran tertentu,” terangnya.

Mengenai ibadahnya, Kusnan mengaku tak pernah tahu sebab kitabnya juga menggunakan bahasa sesuai daerah tempat ajaran itu dikembangkan.

“Di Indonesia menggunakan kitab berbahasa Indonesia, mungkin di luar negeri menggunakan bahasa Inggris,” katanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com