Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pahit-Asam Kopi Robusta Menoreh

Kompas.com - 28/06/2009, 16:40 WIB

HAWA dingin dan kabut tipis tidak menghalangi niat Sumardi untuk berangkat ke kebun, Sabtu (27/6) pagi. Lelaki paruh baya itu lincah melintasi tanjakan-tanjakan curam Perbukitan Menoreh, Kulon Progo. Punggungnya bungkuk memikul keranjang bambu berisi bekal berupa singkong rebus dan sebotol kecil air putih.

Tak sampai setengah jam kemudian, sampailah Sumardi di salah satu sisi lereng bukit. Ia berhenti sejenak, menghela nafas, dan mengedarkan pandangan ke luasnya hamparan hijau kebun kopi yang berada di bawah kaki lereng. Setelah itu, ia berjalan turun.

"Di sisi barat kopinya sudah matang. Saya tadi melihat warna buah di sana merah tua. Buah di sisi timur warnanya masih agak kuning, mungkin baru akan saya panen seminggu lagi," ujarnya.

Setibanya di perkebunan kopi, Sumardi menurunkan keranjang di atas tanah. Jemarinya yang keriput lincah memetik buah-buah kopi yang tampak ranum bergerombol di ruas-ruas dahan. Sebentar saja, pria asal Dusun Madigondo, Sidoharajo, Samigaluh, itu selesai memetik kopi di satu pohon. Ia segera beralih ke pohon lain.

Jelang tengah hari, setelah keranjang penuh terisi, Sumardi membawa buah-buah kopi pulang untuk dijemur di atap rumah. Buah kopi kering akan dibuang kulitnya, kemudian bijinya disangrai di atas tungku beralas wajan dari tanah liat. Biji kopi yang sudah gosong dan menghitam siap dihaluskan menjadi bubuk minuman.

"Jadinya seperti ini," kata Sumardi sambil menyeruput gelas kecil berisi air kopi panas. "Kalau diolah dengan benar, kopi akan mengeluarkan aroma wangi dan rasanya mantap," lanjutnya.

Kopi yang ditanam Sumardi dan ratusan petani di Sidoharjo adalah jenis robusta. Kopi jenis ini memiliki keunggulan berupa ukuran biji besar dan rasa lebih pahit dari kopi lain, seperti jenis arabika yang juga tak kalah populer.

Sumardi menambahkan kata mantap pada minuman racikannya karena kopi robusta Menoreh mengeluarkan sedikit rasa asam. Rasa pahit-pahit asam itu menimbulkan sensasi unik di lidah.

Ditambahkan Ketua Kelompok Usaha Bersama Menoreh Suroloyo Daryanto, munculnya rasa asam bisa jadi dipengaruhi perawatan tanaman yang bebas dari pupuk kimia dan pestisida. Meski sampai sejauh ini memang belum ada penelitian ilmiah tentang rasa itu, Daryanto amat yakin dengan hipotesisnya.

Sejak ditanam pada awal dekade 1980-an, tanaman kopi di Bukit Menoreh selalu mendapat nutrisi dari pupuk kandang dan kompos. Berada di ketinggian lebih kurang 800 meter dari permukaan laut, pertumbuhan tanaman kopi tidak terlalu terganggu serangan hama seperti di dataran rendah. Kalau terdapat hama berupa kutu daun, petani menghalaunya dengan pestisida alami seperti air cabai.

Karena dirawat secara organik, kebun tanaman kopi seluas 132 hektare itu sempat menarik minat berbagai pihak untuk meneliti dan mempelajarinya. Tapi , peneliti datang dan pergi tanpa pernah meninggalkan manfaat nyata bagi petani. Petugas penyuluh juga jarang sekali menampakkan wajah di desa ini.

"Kami tetap tidak tahu bagaimana cara meningkatkan produksi buah atau memperbaiki kualitas rasa kopi. Dari dulu sampai saat ini kondisi perkebunan kami hanya seperti ini saja, nyaris tidak ada perubahan," kata Daryanto.

Rata-rata produktivitas kopi di Sidoharjo masih amat rendah, kurang dari 100 kilogram per hektare per tahun. Angka ini amat jauh di bawah rata-rata nasional yang mencapai 600-800 kilogram per hektare per tahun. Karena itulah, petani hanya menjadikan kopi sebagai sumber pendapatan tambahan, seperti ternak kambing.

Hilangnya minat petani untuk serius menggarap perkebunan kopi juga dipicu sulitnya akses terhadap informasi. Kondisi geografis wilayah di Desa Sidoharjo berbukit-bukit dengan lereng terjal. Mayoritas kondisi permukaan jalan berbatu dan belum sepenuhnya diaspal. Desa di ujung barat daya DIY itu seolah terisolasi.

Tidak ada kabel telepon yang mencapai Sidoharjo. Teknologi telepon seluler baru dinikmati warga sejak tiga tahun terakhir, setelah beberapa menara operator komunikasi dibangun di puncak Bukit Menoreh demi memperluas jangkauan layanan. Listrik juga belum genap berusia satu dasawarsa di desa itu.

Keterbatasan akses ini turut menghambat pemasaran kopi. Lebih dari seperempat abad, kopi robusta Sidoharjo hanya dipasarkan di sekitar Kulon Progo. Pardiyo, petani Dusun Nglambur, mengatakan jarang ada pengepul yang bersedia naik ke bukit untuk mengambil kopi warga. Sementara untuk bermitra dengan perusahaan besar, petani tidak sanggup memenuhi target produksi yang tinggi.

Harga jual kopi robusta sendiri cukup menggiurkan. Biji kopi kering laku seharga Rp 11.000 per kilogram. Sementara untuk biji yang sudah disangrai sekitar Rp 35.000 per kilogram. Jika petani mau repot sedikit, mereka bisa meraup untung lebih besar dengan menjual kopi bubuk seharga Rp 50.000-Rp 60.000 per kilogram.

Impian 400 petani kopi di Sidoharjo, jika terjadi perbaikan produksi dan pemasaran kopi, adalah penghidupan yang lebih baik. Sumardi tidak perlu pusing memikirkan harga kebutuhan pokok yang terus naik. Pardiyo ingin membeli selimut pengusir dingin.

Terpisah, Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kulon Progo Agus Langgeng Basuki mengatakan persoalan kopi di Sidoharjo amat kompleks. Sehingga solusi harus dilakukan secara lintas sektoral mulai dari perbaikan prasaran jalan, penguatan modal, penyuluhan pertanian, hingga perluasan jangkauan pemasaran.

"Kami melakukannya bertahap. Tahun ini pemerintah daerah akan meningkatkan kualitas jalan dan memberikan bantuan modal Rp 60 juta untuk kelompok usaha bersama. Diharapkan, kelompok membeli hasil panen kopi dari petani dengan harga pantas sehingga petani dapat termotivasi untuk meningkatkan produksi," kata Agus.

Sebagai perkebunan kopi terluas di Kulon Progo, bahkan juga menjadi salah satu yang terbesar di DIY, warga Desa Sidoharjo belum merasakan manfaat ekonomi dari komoditas agraris tersebut. Kehidupan mereka masih saja terasa pahit-pahit asam seperti rasa kopi yang mereka hasilkan. Entah kapan kopi robusta Menoreh akan terasa manis bagi mereka.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com