KOMPAS.com- Malam selikuran atau Selikuran merupakan tradisi menyambut Lailatul Qadar di tanah Jawa.
Menurut ajaran Islam, malam Lailatul Qadar terjadi pada tanggal ganjil yang dimulai pada malam 21 (selikur) di bulan Ramadhan.
Dilansir dari surakarta.go.id, pada malam itu awal Rasulullah SAW memulai i'tikaf, yaitu berdiam diri di masjid yang dikerjakan setiap waktu dan utamanya di Ramadhan, khususnya 10 hari terakhir.
Pasalnya, 10 hari terakhir Ramadhan memiliki keistimewaan untuk umat Islam, karena adanya Lailatul Qadar atau malam yang lebih baik dari 1000 bulan. Malam untuk mendapatkan pahala yang lebih baik dari 1000 bulan.
Malam selikuran berarti malam ke 21 (bahasa Jawa Selikur).
Baca juga: Mengenal Malam Selikuran, Tradisi Unik Keraton Surakarta Sambut Turunnya Lailatul Qadar
Selikuran juga diartikan sebagai sing linuwih ing tafakur. Tafakur berarti usaha untuk menekatkan diri pada Allah SWT.
Maksudnya adalah ajakan untuk lebih giat mendekatkan diri pada Allah SWT serta diharapkan menjadi sarana untuk mengingatkan semakin memperbanyak sedekah, merenung, instropeksi diri, dan meningkatkan ibadah.
Sebagai tradisi, Malam Selikuran telah berlangsung sejak penyebaran agama Islam di Jawa.
Tradisi diperkenalkan Wali Sanga sebagai cara dakwah Islam sesuai dengan budaya di tanah Jawa.
Kraton Yogyakarta dan Solo tergolong rujin menyelenggarakan Malam Selikuran setiap tahun.
Malam selikuran di Keraton Kasunanan Surakarta dilakukan dengan mengarak 1000 tumpeng yang diiringi dengan lampu ting atau pelita dari keraton menuju Masjid Agung Surakarta.
Baca juga: Makna Tumpeng Sewu Malam Selikuran Keraton Kota Solo, Simbol Keselamatan Sambut Malam Lailatul Qadar
Sampai di Masjid Agung, acara dilakukan dengan doa bersama dan membagikan tumpeng pada masyarakat yang menyaksikan.
Lampu ting merupakan simbol obor yang dibawa para sahabat saat menjemput Rasullullah SAW setelah menerima wahyu di Jabal Nur.
Malam Selikuran dikembangkan Sultan Agung, namun dalam perjalanannya tradisi ini mengalami pasang surut.
Pada masa pemerintahan Pakubuwana IX, Malam Selikuran dihidupkan kembali dan mencapai puncak pada masa Pakubuwana X.