Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hidup Bertaut Maut di Kepulauan Rempah

Kompas.com - 31/07/2012, 23:31 WIB

Oleh Prasetyo Eko P dan A Ponco Anggoro

KOMPAS.com - Angin musim timur mengirim gelombang raksasa, seperti hendak melahap perahu Ay Manise. Hujan mulai turun dan langit hitam menaungi Laut Banda. Namun, penumpang perahu yang lain justru menertawakan kami yang memakai pelampung.

Perjalanan dari Pulau Banda Neira ke Pulau Ay pada akhir Juni 2012 itu seperti bertaruh dengan maut. Perahu sepanjang 10 meter itu diayun gelombang tiada henti. Tinggi gelombang mencapai 2 meter, melebihi atap perahu. Musim angin timur di Laut Banda, Provinsi Maluku, memang mengerikan.

Samudia, nakhoda kapal, mengarahkan perahu mengikuti alunan gelombang. Ia tahu betul, jika perahu menabrak dinding air, risikonya maut. Perahu bisa terempas, bahkan bisa remuk dihantam gelombang.

Bagi Samudia dan warga Kepulauan Banda, tinggi gelombang itu tidaklah merisaukan. Namun, bagi kami, itu cukup merontokkan nyali. Ketika kemudian kami mengenakan pelampung yang kami bawa, para penumpang lain pun tertawa.

”Takut ya, Mas,” demikian gurauan Nurisma Sudin (31), warga Pulau Ay yang baru dari Banda Neira berbelanja kebutuhan pokok.

Berita tenggelamnya Kapal Motor (KM) Putri Ayu di perairan Maluku beberapa hari sebelumnya tidak membuat warga khawatir. Pada 17 Juni 2012, KM Putri Ayu tenggelam dan menewaskan lebih dari 20 penumpang. Sebelumnya, Januari 2012, perahu cepat Inarissa juga tenggelam di perairan sekitar Pulau Seram dan menewaskan 4 dari 20 penumpang.

”Kami sudah biasa karena mau tidak mau untuk menjual pala dan cengkeh atau belanja kebutuhan pokok harus ke Neira,” katanya.

Pilihan warga memang terbatas. Tidak banyak perahu yang melayani rute Neira sebagai ibu kota Kecamatan Banda ke Pulau Ay. Selain Ay Manise, ada dua perahu lain yang melayani jalur ini. Ketiganya hanya berlayar satu kali setiap hari.

”Sebelumnya, ada lima perahu yang melayani jalur ini, tetapi sejak setahun lalu tinggal tiga,” ujar Samudia. Meski berisiko tinggi, tarif pelayaran Neira-Ay relatif murah, Rp 20.000 pergi-pulang.

Perahu seperti milik Samudia menjadi andalan warga kepulauan untuk mengangkut hasil kebun seperti pala dan cengkeh ke Banda Neira, bersekolah, atau ke dokter.

”Dengan perahu-perahu itu, lalu lintas bahan-bahan kebutuhan pokok dan hasil bumi rakyat bisa lancar dari dan ke tujuh pulau berpenghuni di Banda,” ujar Muksin Assagaf, Sekretaris Kecamatan Banda.

Tujuh pulau itu adalah Neira, Banda Besar, Ay, Run, Hatta, Gunung Api, dan Syahrir, yang berpenduduk 19.532 orang. ”Mau naik apa lagi kalau bukan perahu ini,” kata Nurisma.

Sayangnya, keberanian, kenekatan, atau keterpaksaan warga dan pemilik perahu di perairan Kepulauan Maluku terkadang harus dibayar dengan sangat mahal. Ketiadaan alat keselamatan, seperti pelampung, sering berakibat fatal.

Sejarah kepulauan

Warga mau tak mau harus ke Banda Neira untuk menjual hasil kebun dan berbelanja kebutuhan pokok. Akibatnya, harga sering melambung tinggi saat kapal kesulitan berlayar ketika laut tak bersahabat. ”Bensin bisa Rp 10.000 per liter, beras Rp 500.000 per 50 kilogram, dan gula Rp 16.000 per kilogram,” ujar Nurisma.

Sarana kesehatan dan pendidikan juga sangat minim. Di Ay, misalnya, tidak ada dokter atau bidan, sedangkan sekolah hanya sampai SMP. ”Perahu-perahu juga berjasa membawa orang sakit ke rumah sakit,” kata Raja (Kepala Desa) Ay Ahmad Yani Dauru. Menurut Ahmad, sejak setahun ini tidak ada tenaga medis di pulau itu.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com