BORONG, KOMPAS.com — Langit cerah menyambut pagi di Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. Pagi ini berbeda dengan hari-hari sebelumnya yang mendung dan berkabut, memberikan sinar harapan bagi perjalanan kami menuju pelosok Manggarai Timur.
Kami berencana untuk melihat dari dekat kehidupan lima bersaudara yang tinggal bersama kakek mereka, Wilhelmus Seong (62), di Kampung Kopalandu, Desa Ranakolong, Kecamatan Kota Komba.
Perjalanan kami dimulai dengan sepeda motor tua, melintasi jalan Transflores menuju pertigaan Kampung Kalabumbu. Dari sana, kami melanjutkan perjalanan menuju kampung yang terletak di perbukitan, tempat tinggal lima bersaudara ini bersama kakek mereka.
Oby Neja, pemandu kami, membantu menuntun perjalanan jurnalistik ini untuk melihat langsung kehidupan keluarga tersebut.
Setibanya di depan rumah mereka, terdengar suara "pek, pek, pek" dari dalam rumah. Ternyata, Wilhelmus sedang memecahkan kemiri kering dengan batu, sebuah pekerjaan yang memisahkan kulit kasar dari kemiri yang halus.
Kemiri yang sudah dipisahkan kemudian dikumpulkan dalam karung kecil untuk dijual di pasar demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Maria Florentina Fatima Sana, atau Fini (15), adalah anak sulung dari lima bersaudara ini. Ia baru saja tamat Sekolah Menengah Pertama Satu Atap (Satap) Bonggirita.
Adiknya, Yohanes Alvandi Kleondus Seong, duduk di kelas 1 SMP Satap Bonggirita; Yohanes Fatanasius Rubionasa di kelas 3 SDI Bonggirita; Fenansia Makrida Sana di kelas 1 SDI Bonggirita; dan si bungsu, Maria Avela Sana, adalah siswi PAUD Debrito Bonggirita.
Baca juga: Pengembangan Kawasan Parapuar di Labuan Bajo Terus Diperkuat Penguatan Konten Budaya Manggarai
Ayah mereka, Raimundus Nduku, telah meninggal dunia enam tahun lalu, sementara ibu mereka, Maria Imakula Jena, merantau ke Kalimantan tiga tahun lalu tanpa kabar hingga kini.
Fini menceritakan bahwa setelah ayah mereka meninggal pada 2018, ibu masih merawat mereka dengan penuh kasih sayang dan melahirkan adik bungsu, Maria Avela Sana.
Namun, saat adik bungsu berusia tiga tahun, ibu memutuskan untuk merantau ke Kalimantan. “Sejak 2021, kakek memutuskan untuk memelihara dan merawat kami berlima karena tidak ada lagi yang mengurus kami di rumah,” ungkap Fini.
Sebagai anak sulung, Fini harus mengambil tanggung jawab besar. Setiap hari, dia berjalan kaki sejauh satu kilometer untuk pergi ke sekolah.
Sepulang sekolah, ia memasak untuk adik-adiknya dan sang kakek, kemudian pergi ke kebun untuk memungut kemiri yang akan dijual demi membeli kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah.
“Saya juga memungut kemiri di kebun peninggalan orang tua. Menjemur kemiri dan memecahkannya demi mendapatkan uang untuk membeli beras, baju, dan kebutuhan lain serta membayar uang sekolah,” jelasnya.
Fini menceritakan bahwa mereka berlima selalu merindukan sosok sang ayah yang telah tiada. Kehadiran sang kakek yang memelihara dan menjaga mereka membuat mereka melihat sosok ayah dalam dirinya.