SEMARANG, KOMPAS.com – Ahli Hukum Tata Negara Universitas Semarang (USM) Muhammad Junaidi menilai, pergantian atau perpanjangan masa jabatan kepala daerah mampu menimbulkan tafsir publik.
Untuk itu, dia meminta Presiden RI Joko Widodo agar tak menambah gaduh suasana politik jelang Pemilu 2024.
Menurut Junaidi, Jokowi melakukan pergantian kepala daerah maupun penjabat daerah tanpa alasan yang jelas. Hal ini tercermin dari kebijakan yang diambil oleh Jokowi menjelang hari pencoblosan.
Baca juga: 4 Saksi Ahli Dilibatkan dalam Pemeriksaan Kasus Penganiayaan Relawan Ganjar-Mahfud di Boyolali
“Misalnya pj bupati/walikota diganti mendekati Pemilu, apalagi sekarang itu ada perpanjangan kepala daerah seperti Bu Khofifah, itu berpotensi ada penilaian dan tafsir lain. Hindarilah Presiden berbuat seperti itu, sehingga masyarakat dan parpol itu tidak gaduh dan fokus pada penyelenggaraan Pemilu,” tegas Junaidi melalui sambungan telepon, Kamis (18/1/2024).
Dia mencontohkan perpanjangan masa jabatan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa yang tergabung dalam Tim Kemenangan Nasional (TKN) Prabowo Gibran juga menjadi sorotan.
“Ini jangan sampai terjadi, ketika kepala daerah yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu itu bisa memunculkan pelanggaran yang sifatnya TMS (terstruktur, masif, dan sistematis)," katanya.
Junaidi mengecam pelanggaran yang sifatnya dari atas ke bawah, sistematis, dan sengaja diatur untuk memenangkan paslon tertentu.
Selain itu, munculnya peraturan baru selama proses Pemilu 2024 ini juga mendapatkan kritik darinya. Hal itu dinilai mencederai demokrasi di Indonesia.
“Apalagi di tengah proses penyelenggaran Pemilu ada muncul peraturan baru. Di negara maju dan berkembang seperti Eropa, setiap penyelenggara Pemilu itu dimungkinkan tidak ada peraturan yang baru. Ketika aturan lain muncul di tengah pertandingan, pasti ada yang tidak diuntungkan,” terangnya.
Lebih lanjut, pihaknya tak mempermasalahkan intervensi Jokowi dalam kampanye selama hal itu tidak dilakukan dengan fasilitas dan kebijakan negara.
“Sepanjang campur tangan itu tidak dalam konteks menggunakan fasilitas negara atau pemanfaatan kebijakan negara untuk memenangkan salah satu pihak tertentu seperti pemberian bansos, itu tidak masalah,” lanjutnya.
Baca juga: Jokowi Lantik 9 Anggota KPPU, Ini Daftar Namanya
Dalam hal ini, dia menyebut Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberi contoh baik selama kampanye berlangsung saat masih menjabat sebagai Presiden RI.
“Saya contohkan Pak SBY, itu bagus. Ketika SBY masih menjabat sebagai presiden itu tidak ada riuhnya seperti sekarang, mulai dari putusan MK sampai kemudian beberapa informasi ada penjabat daerah diganti. Itu kan bikin gaduh, ini jadi sejarah buruk Pemilu Indonesia,” tegasnya.
Pihaknya berharap, praktik demokrasi yang sehat dapat mementukan pemimpin Indonesia dari hasil dalam Pilpres 2024 mendatang.
“Jangan sampai negara ini dirusak demokrasinya dengan langkah-langkah yang tidak sesuai,” pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.