LAMPUNG, KOMPAS.com - Angkutan Kota (angkot) pernah menjadi primadona transportasi publik di Bandar Lampung. Namun, setelah "negara api menyerang" nasibnya kini merana.
Di era tahun 2000-an, angkot menjadi transportasi publik pilihan utama, khususnya di kalangan mahasiswa.
Pada masa itu, banyak mahasiswa yang merupakan warga Jabodetabek berkuliah di Universitas Lampung (Unila).
Baca juga: Cerita Pengusaha Angkot Kabupaten Bandung, Dipaksa Beradaptasi di Tengah Era Digitalisasi
"Kebanyakan masa itu mahasiswa dari Jawa, termasuk saya dan teman-teman. Sampai di sini ngekost, nggak bawa kendaraan pribadi seperti sekarang," kata Iman Nuralim (41) warga Bandar Lampung saat ditemui, Minggu (22/10/2023).
Iman sebenarnya kelahiran Tangerang, dia masuk Unila tahun 2000. Namun setelah lulus kuliah di Fakultas Ekonomi dia memilih menetap di Lampung.
Dulu, untuk bepergian Iman dan rekan-rekannya mengandalkan angkot. Dari rumah kost, dia berjalan kaki melewati kampus Unila ke halte. Baru kemudian naik angkot jurusan Terminal Rajabasa - Tanjung Karang untuk ke pusat kota.
"Dari (Tanjung) Karang baru naik angkot lain untuk ke, misalnya, pusat perbelanjaan atau bioskop. Jadi, ya ramai waktu itu penumpang angkot, yang punya motor masih jaranglah," katanya.
Bahkan ketika itu, sopir angkot seakan berlomba "mempercantik" kendaran mereka. Iman menuturkan, salah satu ciri khas angkot di Lampung adalah memiliki sound system yang bisa disejajarkan dengan mobil-mobil custom.
"Dahulu, lagu-lagu demo Kangen Band banyak diputar di angkot, memang sound-nya bagus," kata Iman.
Malahan, ada anekdot di kalangan mahasiswa kala itu, tidak mau naik angkot yang tidak memiliki sound system.
"Tau angkotnya nggak ada musik, ya nggak jadi naik," kata Iman sambil terbahak mengingat momen ketika dia kuliah dahulu.
Kenangan serupa dialami Yudistira (40) warga Kecamatan Teluk Betung, Bandar Lampung. Yudistira yang juga berkuliah di Unila mengatakan untuk mencapai kampus dia harus dua kali naik angkot.
"Dulu belum punya motor, ojek online juga belum ada. Jadi kalau ke kampus ya naik angkot, bisa juga sebenarnya naik bus Damri, tapi penuh terus," katanya.
Ongkos untuk empat kali naik angkot (pergi-pulang) kala itu hanya Rp 4.000. Dari rumahnya dia naik angkot jurusan Terminal Sukaraja - Tanjung Karang lalu turun di depan Mall Kartini di Jalan RA Kartini, baru dilanjutkan naik angkot jurusan Terminal Rajabasa - Tanjung Karang yang melintasi Unila.
"Sekarang sepi ya, paling cuma dua tiga orang yang naik, dahulu itu pasti ramai, jadi ngetemnya juga nggak lama," kata Yudistira.