PERJALANAN panjang Kompas.com menuju tapal batas NKRI di Pulau Sebatik, Kalimantan Utara, kembali berlanjut, Rabu (16/8/2023). Sebelumnya kami harus menjeda perjalanan di Kota Tarakan, Kalimantan Utara, setelah terbang dari Jakarta.
Usai menyantap sarapan, saya bersama tiga staf Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) bergegas menuju Pelabuhan Tengkayu I Tarakan untuk memulai petualangan sesungguhnya menuju batas Indonesia di leher Borneo.
Baca juga: Penasaran, Masihkah Rupiah Tak Laku di Sebatik?
Tak sampai tiga puluh menit, mobil yang kami tumpangi tiba di Pelabuhan Tengkayu I. Pada Rabu pagi ini, pelabuhan tampak begitu sibuk dengan hilir-mudik warga setempat.
Meski bukan pelabuhan besar, Pelabuhan Tengkayu I merupakan akses utama bagi warga dari Tarakan yang hendak menyeberang, baik yang menuju Sei Nyamuk, Malinau, Nunukan, maupun Tanjung Selor.
Di dalam area pelabuhan, mata saya tertuju pada sejumlah wanita yang duduk lesehan. Mereka menjajakan aneka camilan dan kopi seduhan bagi calon penumpang.
Tiket seharga Rp 280.000 sudah di tangan. Saya duduk sejenak, mengumpulkan nyali sebelum naik ke kapal cepat Sinar Baru Express yang akan membawa kami menuju Sebatik.
"Sei Nyamuk.. Sei Nyamuk.. Sungai Nyamuk..," terdengar suara kenek kapal menyuruh kami, penumpang tujuan Pelabuhan Sei Nyamuk, agar segera bergegas naik.
Koper yang kami geret langsung dijunjung sang kenek ke atas badan kapal. Satu per satu penumpang pun masuk.
Kapal yang kami tumpangi ini bukanlah jenis kapal besar, sebab hanya membawa penumpang. Kapasitasnya sekitar 40-42 orang. Untuk sampai ke dalam ruang penumpang, kami harus menuruni beberapa anak tangga.
Tidak ada ketentuan khusus nomor kursi. Penumpang boleh duduk di mana saja.
Usai mengatur posisi, saya sedikit limbung lantaran guncangan ombak kian terasa. Padahal, kapal belum juga jalan.
Takut makanan yang baru saya cerna sejam lalu keluar mendadak, saya langsung mencari kantong plastik dan menggenggamnya erat.
Samar-samar saya mencium aroma jeruk yang tak asing. Benar saja, kapal ini menggunakan pewangi ruangan aroma jeruk yang berkontribusi memicu rasa mual saya.
Deru mesin kapal pun kian menderu. Kapal kami melaju kencang, membelah Selat Sebatik.
Di sepanjang jalan, saya berusaha memejamkan mata. Beruntung, guncangan kapal tidak sekencang tadi. Meski, tetap saja, perjalanan dua jam ini terasa begitu lama.