BENGKULU, KOMPAS.com- Matahari baru saja muncul saat Dn, buruh harian lepas sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu, memacu sepeda motornya menuju perkebunan berbekal karung, gancu, bertopi lusuh serta sepatu bot.
Sepanjang jalan dari rumah menuju perkebunan Dn sesekali menyapa, tertawa, atau berkelakar ketika berpapasan dengan buruh lain.
Jadwal Dn hari ini mulai pukul 06.30 WIB hingga 15.00 WIB memungut buah sawit (berondol) serta memuat Tandan Buah Segar (TBS) ke truk hingga selesai.
Selama tujuh tahun, Dn bekerja seperti itu hingga memiliki tiga orang anak yang masih duduk di bangku sekolah atas.
"Inilah kegiatan saya selama tujuh tahun. Memungut berondol sawit, serta memuat buah ke truk. Upah saya Rp 97.000 per hari kerja. Hari kerja saya dibatasi hanya boleh 20 hari, berarti setiap bulan 20 hari kerja saya terima upah Rp 1,9 juta," ungkapnya kepada Kompas.com, Kamis (27/7/2023).
Baca juga: Bertemu Menlu Portugal, Menlu Retno Sampaikan Keprihatinan Kebijakan Uni Eropa untuk Kepala Sawit
Meski dalam peraturan perusahaan pekerja harus bekerja mulai 06.30 WIB hingga pukul 15.00 WIB, apabila masih ada TBS belum selesai dimuat ke truk maka Dn harus lembur, kadang hingga 21.00 WIB. Kendati demikian, waktu lembur itu tidak dibayar.
"Saya bekerja hingga pukul 15.00 WIB, apabila masih ada buah belum dimuat ke truk maka harus selesai kadang sampai pukul 21.00 WIB itu tidak dihitung lembur oleh perusahaan tetap dihitung Rp 97.000 hari kerja (HK)," keluhnya.
Dn tak berani protes atau meminta tambahan upah ke perusahaan karena khawatir akan dipecat.
Namun, Dn tidak pernah menerima kontrak kerja selama mencari nafkah di perkebunan kelapa sawit tersebut.
Dia mendaftar ke perusahaan sebagai buruh harian lepas berbekal nekat, hanya datang ke perusahaan meminta pekerjaan.
Selanjutnya dia ditawari sebagai pemungut berondol dan muat buah.
"Hari ini saya daftar besok langsung disuruh kerja sudah begitu saja sejak tujuh tahun lalu tidak ada penambahan upah. Tidak berani minta kontrak kerja, ribuan buruh kebun sama seperti saya bekerja tidak ada kontrak, bahkan ada buruh yang 20 tahun bekerja tanpa kontrak," jelasnya.
Tidak adanya kontrak kerja membuat perusahaan semaunya memberlakukan buruh.
Dn mengaku tidak ada menerima apa-apa dari perusahaan selain upah Rp 97.000 per hari kerja.
Dia tak pernah mendapatkan pembagian bonus, Tunjangan Hari Raya (THR) dan sejenisnya.
Selanjutnya untuk jaminan kesehatan perusahaan menawarkan BPJS kesehatan dengan cara pemotongan gaji setiap bulan.
Tawaran ini ditolak Dn karena mendapatkan Kartu Indonesia Sehat (KIS) tanpa harus membayar tiap bulan.
"Perusahaan tawarin BPJS namun harus potong gaji, saya tidak ikut karena sudah terdaftar di KIS pemerintah," ujarnya.