KELUARGA korban tragedi Stadion Kanjuruhan 1 Oktober 2022 berkumpul di pintu 13 Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada 3 Juni 2023. Mereka menolak rencana renovasi Stadion Kanjuruhan karena masih adanya rasa ketidakadilan atas proses hukum perkara tersebut.
Sebagaimana diketahui, lima dari enam tersangka perkara tragedi Kanjuruhan divonis ringan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya di awal Maret lalu. Vonis bervariasi antara 1 hingga 1,5 tahun, dan bahkan ada yang divonis bebas.
Baca juga: Menjaga Keadilan, Keluarga Korban Tolak Pembongkaran Pintu 13 Stadion Kanjuruhan
Polemik renovasi Stadion Kanjuruhan dimulai pada 27 November 2022 ketika sekitar 30 orang pekerja masuk ke area stadion dengan merusak gembok stadion dan melakukan selamatan. Upaya ini berlanjut keesokan harinya saat ada beberapa pekerja mencoba menerobos masuk. Aksi ini kemudian dilaporkan petugas Dispora Kabupaten Malang yang kemudian ditindaklanjuti oleh Polres Malang dengan menetapkan dua orang tersangka.
Salah satu tersangka, Fernando Hasyim Ashari, disebut sebagai penanggung jawab sebuah CV yang melaksanakan pekerjaan, baru berusia 19 tahun. Pada usia semuda itu, dia sudah menjadi penanggungjawab CV yang memiliki kontrak memperbaiki stadion besar.
Penyidik seharusnya menelusuri apa benar Fernando penanggungjawab CV Aneka Jaya Teknik dengan membuka dokumen perusahaan dan riwayat Fernando di CV tersebut. Penyidik tidak mendalami siapa pihak yang menyuruh mereka melakukan pembongkaran.
Tidak heran pada 4 April 2023 kedua tersangka hanya divonis empat bulan penjara. Bandingkan dengan perusak kantor Arema yang sampai empat bulan masih belum disidangkan, bahkan belum dilimpah ke Kejaksaan.
Andai penyidik mendalami pihak yang menyuruh Fernando cs melakukan pembongkaran, bisa jadi perkara dikembangkan dengan upaya menghalangi penyidikan, karena tempat yang mereka bongkar sebenarnya area yang masih berhubungan erat dengan tempat kejadian perkara (TKP) sebuah perkara yang saat itu masih dalam penyidikan Polda Jatim.
Lantas kenapa sebaiknya Stadion Kanjuruhan tidak perlu buru-buru direnovasi? Seperti yang disebutkan di awal tulisan ini, ada ketidakadilan yang masih dirasakan keluarga korban. Munculnya perasaan ketidakadilan itu terkait dengan tiga hal hal.
Pertama, olah TKP tidak berlangsung transparan. Berkaca pada kasus kecelakaan yang melibatkan seorang mahasiswa Universitas Indonesia (UI) vs pensiunan polisi berpangkat AKBP di Jakarta Selatan, seharusnya untuk perkara dengan korban sebanyak Kanjuruhan dilakukan olah TKP secara terbuka yang bisa diliput banyak media.
Dalam kasus Kanjuruhan, hal itu nyaris tidak terlihat. Kadivhumas Polri saat itu bahkan sampai salah informasi ketika menyebutkan ditemukan 42 botol miras. Namun kemudian dikonfirmasi oleh pihak Dispora Malang bahwa 42 botol itu merupakan obat hewan ternak. Hal ini tentu tidak lepas dari olah TKP yang kurang terbuka.
Baca juga: Stadion Kanjuruhan Akan Dibangun Ulang, Tahapan Sudah Dimulai
Kedua, rekonstruksi yang tidak dilakukan di Kanjuruhan. Hal ini juga seharusnya tidak terjadi untuk perkara dengan korban sebanyak Kanjuruhan.
Jika kita melihat perkara Mario Dandi, Polda Metro Jaya melakukan rekonstruksi di TKP penganiayaan. Rekonstruksi tersebut bahkan diizinkan Polda Metro Jaya untuk diliput media secara langsung. Berbeda dengan perkara Kanjuruhan di mana rekonstruksi dilakukan tidak di TKP.
Ketiga, sidang lapangan tidak digelar. Hakim juga tidak meminta dilakukannya sidang lapangan. Padahal sidang lapangan bisa memberikan gambaran lebih jelas terkait apa yang terjadi.
Pada kasus kematian bocah Engeline di Bali dan kasus pembunuhan Brigadir Josua, majelis hakim meminta diadakan sidang lapangan yang tentunya memberikan gambaran jelas kepada mereka. Sebagai bekal pengambilan keputusan.
Dalam aksi protes para keluarga korban pada 3 Juni 2023, salah satu gagasan dari keluarga korban adalah agar Stadion Kanjuruhan dijadikan sebagai monumen untuk mengenang tragedi yang menimpa keluarga mereka. Sebanyak 135 nyawa dan ratusan korban luka tentunya perlu diberikan penghormatan, salah satunya dengan pembangunan monumen.
Baca juga: Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan Gelar Aksi, Tuntut Stadion Jadi Monumen Tragedi
Indonesia sendiri memiliki beberapa monumen yang mengenang terjadinya tragedi. Mulai dari Ground Zero Bom Bali I hingga Museum Tsunami Aceh. Monumen-monumen itu tentunya tidak dalam upaya mengeksploitasi penderitaan korban atau kesedihan keluarganya, melainkan sebagai peringatan akan terjadinya suatu tragedi, lebih-lebih agar kita semua, dari suporter, aparat, hingga semua pemangku kepentingan dalam sepak bola, bisa belajar dari tragedi tersebut agar peristiwa serupa tidak terjadi.
Di samping itu monumen Kanjuruhan bisa menjadi salah satu tujuan bagi mereka yang berkunjung ke Malang, seperti halnya banyak monumen di Banda Aceh mulai dari Museum Tsunami, PLTD Apung, dan titik lain di Banda Aceh yang menjadi monumen terkait peristiwa tsunami yang pernah menimpa kota tersebut.
Maka mengabadikan nama-nama, barang-barang, hingga dokumentasi peristiwa Kanjuruhan tentunya tidak kalah bermanfaat ketimbang memaksakan Kanjuruhan dipakai kembali. Toh Malang Raya tidak kurang akan stadion, mulai stadion Gajayana Kota Malang, Stadion Brantas Kota Batu hingga beberapa stadion di Kabupaten Malang yang bisa menjadi opsi pertandingan sepakbola di Malang Raya. Atau Pemkab Malang bisa membangun lagi stadion di area Malang Selatan, yang bisa mendorong pertumbuhan perekonomian di wilayah selatan.
Kanjuruhan belum tuntas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.