SOLO, KOMPAS.com - Bedug Kiai Wahyu Tengara di Masjid Agung Surakarta merupakan tinggalan Raja Keraton Solo, Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (SISKS) Paku Buwana (PB) X.
PB X memerintah Keraton Solo dari 1893 hingga 1939.
Bedug ini memiliki diameter sekitar 1,5 meter terbuat dari kayu dan kulit sapi. Di sebelah bedug terdapat kentongan kayu dengan memiliki panjang sekitar 2,5 meter.
Baca juga: Pedagang Pasar Bedug Ramadhan di Palembang Harus Memiliki Izin Camat
Sekretaris Takmir Masjid Agung Surakarta, Abdul Basit menjelaskan pembuatan bedug tersebut merupakan inisiatif dari para ulama saat itu sebagai penanda waktu shalat.
Bermula dari tradisi gamelan keraton yang diadopsi umat Islam dalam tradisi musik terbang rebana. Kemudian diwujudkan dalam bentuk yang besar dengan sebutan bedug.
"Sebetulnya kelengkapan gamelan dalam tradisi Hindu itu tidak ada bedug. Adanya kan gong. Kemudian di Islam itu ada rebana tapi bentuknya kecil. Terinspirasi dari tradisi Islam, rebana kemudian dibuat yang lebih besar," kata Basit di Solo, Jawa Tengah, Kamis (7/4/2022).
Bedug ini diletakkan berada di serambi masjid. Setiap memasuki waktu shalat, jelas Basit bedug ini selalu ditabuh.
"Nama Kiai Wahyu Tengara ini karena merupakan sesuatu yang dimuliakan. Ini (bedug) untuk menandai panggilan wahyu Allah, yaitu shalat. Makanya dinamakan Kiai Wahyu Tengara," ungkap Basit.
Baca juga: Sejarah Dandangan, Tabuh Bedug Jelang Ramadhan Warisan Sunan Kudus
Sejarah berdirinya Masjid Agung Surakarta, dilansir dari cagarbudaya.kemendikbud.go.id, tidak lepas dari peristiwa perpindahan pusat Kerajaan Mataram Islam dari Kartasura menuju Desa Sala (Solo) pada 17 Februari 1745.
Perpindahan pusat kerajaan itu dilakukan pada masa pemerintahan Pakubuwana II dan keraton baru dinamakan Surakarta.
Adapun, rintisan pembangunan Masjid Agung Surakarta juga dilakukan bersamaan dengan pembangunan keraton.
Pada masa pemerintahan Pakubuwana III, pembangunan masjid dimulai pada tahun 1757 dan diperkirakan selesai pada tahun 1768.
Informasi tersebut diketahui dari prasasti yang ada di dinding luar ruang utama Masjid Agung Surakarta.
Baca juga: Mulai Dapat Pesanan, Perajin Bedug di Banyumas: Tahun Lalu Cuma Satu
Sebagai informasi, Mataram Islam terbagi menjadi dua pada masa pemerintahan Paku Buwana III melalui perjanjian Giyanti 13 Februari 1755, menjadi Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Setelah Masjid Agung Surakarta berdiri, pembangunan masih berlanjut. Pada masa pemerintahan Pakubuwana IV, mustaka berbentuk paku bumi ditambahkan di puncak atap masjid. Penggantian tiang juga dilakukan pada tahun 1791.