HERRY Wirawan, pelaku pemerkosaan terhadap belasan murid perempuannya, dituntut oleh jaksa penuntut umum dengan hukuman mati serta hukuman tambahan berupa kebiri kimia.
Pada satu sisi, tuntutan berupa hukuman mati sudah mewakili sepenuhnya suasana batin kebanyakan anggota masyarakat yang begitu murka, sedih, sekaligus takut terhadap perbuatan terdakwa.
Hukuman mati dianggap sebagai ganjaran setimpal yang sudah sepatutnya dikenakan kepada manusia kejam yang sudah melakukan kebiadaban terhadap orang-orang yang semestinya berada dalam perlindungan serta di bawah didikannya.
Namun ketegasan jaksa lewat tuntutannya itu justru menjadi membingungkan tatkala digandengkan dengan tuntutan hukuman tambahan berupa kebiri kimia.
Hukuman mati merupakan manifestasi filosofi retributif dalam penghukuman. Filosofi ini berpandangan bahwa mata harus dibalas mata, sakit dibalas sakit, penderitaan dibalas dengan penderitaan pula.
Termasuk penderitaan maksimal berupa pencabutan nyawa.
Filosofi retributif memosisikan terdakwa sebagai seseorang yang tidak pantas diberikan kesempatan untuk mengubah nasibnya.
Begitu rusak dan mengerikannya perbuatan terdakwa, sehingga ia sampai-sampai dipandang sebagai manusia yang tidak akan mungkin berubah tabiat dan perilakunya.
Sehingga, demi menjamin pulihnya rasa aman masyarakat, sekaligus melunasi utang pelaku atas penderitaan yang dialami oleh para korban, maka sudah sepatutnya manusia keji alias predator seksual diganjar dengan diakhiri hidupnya.
Filosofi tersebut bertolak belakang sepenuhnya dengan praktik kebiri.
Kebiri kimia, sebagaimana dalam ketentuan hukum di Indonesia dan praktik di sekian banyak negara, sama sekali tidak diposisikan sebagai langkah untuk melipatgandakan penderitaan pelaku kejahatan seksual.
Kebiri bukan merupakan bentuk hukuman tambahan yang ditujukan sebagai bentuk balas dendam terhadap pelaku.
Sebaliknya, kebiri merupakan implementasi dari filosofi rehabilitasi dan filosofi reintegrasi.
Pelaku kejahatan, dalam filosofi rehabilitasi disikapi sebagai manusia yang sakit, bermasalah, dan membutuhkan bantuan untuk pulih.
Rehabilitasi atau pengobatan, dengan demikian, dapat dipandang sebagai bentuk kepedulian negara terhadap pelaku kejahatan yang sesungguhnya memiliki peluang untuk sembuh.