Saat ditemui di rumahnya di Dadapan, Wonokerto Turi, Kabupaten Sleman, tampak Faqih dan Fahmi duduk di kursi roda. Di ruang tamu, Faqih asyik mengotak-atik komputer kesayangannya, sedangkan adiknya, Fahmi berada di samping dan terus memandangi aktivitas sang kakak.
Sesekali, Faqih dan Fahmi memanggil sang ibu untuk membantu mengangkat kaki yang tak sanggup mereka gerakan sendiri ke pijakan kursi roda. Meski gerak mereka terbatas, namun ketika Kompas.com mengunjungi dan melangkahkan kaki ke dalam rumah yang berada di antara perkebunan salak ini, Faqih dan Fahmi berusaha menengok, mengarahkan pandangan mereka, dan menyapa dengan seyuman.
"Saya sudah jual tanah, pinjam saudara untuk biaya pengobatan Faqih dan Fahmi. Namanya orangtua pasti ingin anak-anaknya kembali normal," ucap Anik.
Awal terdeteksi
Anik dan suaminya, Murtandlo (50) mulai curiga dengan kondisi anak pertamanya, Fahmi saat dia berjalan. Kala itu, Fahmi sangat kesulitan untuk berdiri, bahkan seringkali terjatuh karena tidak dapat menjaga keseimbangan tubuhnya. Hingga usianya beranjak sekitar 3 tahun, kaki Faqih sudah tidak berfungsi dengan baik menopang tubuhnya. Awalnya, Murtandlo dan Anik mengira putra mereka mengalami kegemukan, sehingga tidak mampu menjaga keseimbangan tubuh.
"Jalan itu seakan-akan berat. Teman-temanya bisa loncat-loncat Fahmi itu tidak bisa. Gampang jatuh, awalnya saya kira karena kegemukan," ujar Anis
Melihat kondisi sang anak, mereka kemudian memeriksakan Fahmi ke bagian tumbuh kembang anak di RS Sardjito, Yogyakarta. Dari situlah diketahui bahwa putra pertama mereka menderita Muscular Dystrophy (gangguan otot bawaan yang disebabkan gen spesifik abnormal).
"Fahmi saya ikutkan terapi di Sardjito selama dua tahun. Harapan saya bisa kembali normal, tapi ternyata di Sardjito belum bisa menangani penderita Muscular Dystrophy," katanya.
Tak hanya oleh Fahmi, gejala-gejala Muscular Dystrophy juga dialami anak kedua mereka, Faqih. Di usianya yang tak terpaut jauh dengan kakaknya, Faqih pun sudah mulai tidak mampu mengerakkan kakinya. Akhirnya, Anik harus kembali melihat dua buah hati kesayanganya menggunakan kursi roda. Meski hati seorang ibu tak sanggup melihat keadaan anak-anaknya demikian, namun dengan penuh kesabaran dan harapan, Anik tetap berusaha menghibur serta memberikan motivasi bagi kedua buah hatinya.
Menggaruk pun susah
Murtandlo menjelaskan, tak hanya kaki, untuk menggerakan tubuh saat tidur pun, Faqih dan Fahmi masih butuh bantuan orang lain. Bahkan setiap malam ia dan istrinya, Anik harus terjaga dan bersiap ketika kedua buah hatinya memanggil untuk pindah posisi tidur atau menggaruk bagian tubuh yang gatal akibat digigit nyamuk.
"Untuk menggaruk gatal gigitan nyamuk saja tidak bisa. Jadi kami kalau tidur ya harus siap-siap kalau anak-anak memanggil," tandasnya.
Dengan keterbatasan fisik, Faqih dan Fahmi hanya menghabiskan hari-harinya di rumah. Faqih mengisi waktunya dengan berada di depan komputer mengotak-atik desain mobil. Sementara Fahmi mengisi harinya dengan bermain game di ponsel pintar dan sesekali melihat sang kakak menggambar mobil.
Menurut Murtandlo, dari semua buah hatinya, hanya anak nomor tiga yang tidak tampak memiliki gejala-gejala seperti yang dialami saudara-saudaranya. Satu lagi anak keempat pasangan Murtandlo dan Anik sudah mulai tampak mengalami gejala Muscular Dystrophy. Hanya saja, mereka berusaha untuk merahasiakannya.
Murtandlo dan Anik hanya bisa terus memberikan motivasi ke ketiga anaknya sambil mencari solusi bagi kesembuhan mereka. Mereka pun tidak menunjukkan kesedihan. Mereka selalu tampak ceria demi ketiga anaknya agar selalu bahagia dalam keterbatasan fisik.
"Ya, sudah habis-habisan, semua sudah dijual. Tapi kami tidak patah semangat. Semua orangtua pasti ingin anaknya sembuh dari sakit, merajut masa depan yang baik. Kami yakin pasti ada jalan," ucap Murtandlo saat ditanya tentang upaya perawatan ketiga anaknya itu.