Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengelola Museum Tenun Ikat NTT

Kompas.com - 20/09/2011, 02:54 WIB

Samuel Oktora

”Na na, kami wezu mbejaka zeze si kau...” (Lihatlah kain tenun itu. Kami sudah melepaskan semuanya dalam kain itu, kini terserah kepadamu untuk mengembangkannya). Bisikan itu seakan terngiang di telinga Ali Abubekar Pae pada suatu malam di Jakarta pada tahun 2000.

Bisikan itu seakan didengar lelaki warga Kelurahan Paupanda, Kecamatan Ende Selatan, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), itu saat ia melepas penat setelah berdagang seharian. Sejak peristiwa itu arah hidupnya berubah. Dia semakin menggeluti dunia tenun ikat tradisional, khususnya asal NTT.

”Entah mengapa, malam itu mata saya tergerak untuk melihat salah satu kain tenun yang disimpan di lemari, lalu saya membentangkannya. Begitu suara lembut itu menggema, saya sampai menangis sambil mencium kain tenun tersebut. Ternyata nenek moyang kami luar biasa. Mereka sudah meletakkan semua rahasia motif dan ragam hias dalam kain tenun buatan tangan. Tinggal kami yang hidup sekarang mengembangkannya,” kata Ali mengenang kejadian 10 tahun silam.

Tekad Ali menekuni kerajinan tenun ikat lalu membuatnya menjadi pengelola Museum Tenun Ikat di Ende, satu-satunya museum tenun ikat di NTT. Namun, jangan membayangkan Ali yang ditetapkan sebagai pengelola museum dengan Surat Keputusan Bupati Ende Nomor 26 Tahun 2009 tertanggal 28 Oktober 2009 itu mendapat fasilitas memadai.

Sejak mengelola museum yang diresmikan pada 5 Agustus 2004 itu, ia tak pernah menerima gaji dari Pemerintah Kabupaten Ende meski museum itu adalah aset pemerintah daerah. Guna menopang kehidupan keluarga, bapak satu anak ini mengandalkan usaha dari toko busana Lio di Pasar Mbongawani, Ende.

Ali pun harus mengelola museum tenun ikat itu seorang diri, mulai dari menyapu, mencabut rumput, menghias taman, sampai menambah dan memajang koleksi museum. Pemerintah Kabupaten Ende hanya mengurus pembayaran rekening air dan listrik museum setiap bulan. Untuk biaya operasional lain, seperti pemeliharaan museum, pemerintah daerah pernah membantu dua kali dengan total dana Rp 2 juta.

Pulang kampung

Meski dibesarkan di lingkungan keluarga yang terampil menenun (terutama ibunya, Siti Fatimah), awalnya Ali ”buta” seluk-beluk tenun ikat. Lulus S-1, Ali merantau ke Pulau Jawa. Ia bekerja sebagai asisten pengacara di Bondowoso, Jawa Timur, pada 1994. Ia juga pernah bekerja sebagai pemasar produk kebutuhan rumah tangga dan peralatan kesehatan di Jakarta.

Saat ia merantau, sang ayah, Abubekar Pae, meminta dia ikut menjualkan tenun ikat hasil kerajinan tangan Siti Fatimah dan kelompok tenunnya di kampung.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com