Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengelola Museum Tenun Ikat NTT

Kompas.com - 20/09/2011, 02:54 WIB

”Saya sempat berpikir, masak sarjana jualan kain di Jakarta? Namun, krisis moneter 1998 membuat saya mencoba menjajakan tenun itu. Ternyata peminat tenun ikat banyak, konsumennya sampai orang asing. Rasa bangga saya pada kain buatan kampung halaman juga tumbuh,” ceritanya.

Seiring bertambahnya permintaan, kiriman tenun dari kampung pun meningkat. Kain tenun itu dijualnya mulai dari Rp 90.000 sampai Rp 2 juta per lembar, tergantung kualitas, kerumitan tenunan, warna, dan panjang kain.

Pada 2003, Ali memutuskan pulang kampung setelah ayahnya meninggal pada tahun 2000 dan sang bunda sakit-sakitan. ”Saya sempat bingung. Mau kerja apa di Ende?” ujarnya.

Sambil mencari peluang kerja, Ali punya banyak waktu untuk belajar dan memperhatikan sang bunda dan kelompoknya menenun. Dari menjual, lalu tertarik, akhirnya Ali bisa menguasai ilmu menenun kain. Meski diakuinya, dalam tradisi di NTT, bagi lelaki ”tabu” menenun. Namun, Ali berani mendobrak paradigma itu.

Rumah adat telantar

Cikal bakal berdirinya Museum Tenun Ikat bermula saat Ali berkunjung ke Kantor Dinas Pariwisata Ende. ”Saat bertemu beliau (Pua Mochsen, kepala dinas waktu itu), saya bertanya mengapa rumah adat (tempat museum kini) itu telantar? Beliau mempersilakan saya mengajukan proposal,” katanya.

Ali pun mengajukan proposal pendirian museum tenun ikat. Pertimbangannya, bangunan itu adalah rumah adat (Lio) dan di Ende ada komunitas perajin tenun ikat.

”Kalau di Jawa ada museum batik, mengapa di Ende tak didirikan museum tenun ikat? Kami memilih Museum Tenun Ikat agar hasil kerajinan tenun ikat dari luar NTT pun bisa masuk museum,” katanya.

Dalam perjalanannya sebagai pengelola museum, tugas Ali tak ringan. Sebagian orang bahkan menganggap dia tak waras karena mau bekerja bakti tanpa gaji sepeser pun. Namun, Ali tetap berusaha menambah koleksi tenun museum sesuai dana pribadi yang bisa dikumpulkannya.

Kini, setidaknya 50 lembar tenun ikat menjadi koleksi museum. Kain itu berasal dari sejumlah daerah, seperti Ende, Kabupaten Sikka, Timor Tengah Selatan (TTS), Belu, Rote Ndao, Sabu Raijua, Sumba Barat, dan Sumba Timur.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com