Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Politik Anggaran yang Tak Memihak Orang Miskin

Kompas.com - 10/03/2011, 05:14 WIB

Sulitnya mengurangi angka kemiskinan, ketimpangan, dan ketertinggalan juga banyak terkait dengan politik anggaran yang tak memihak masyarakat miskin (pro-poor policy, pro-poor budget) atau tak kompatibel dengan tujuan kesejahteraan.

Sebagian besar APBN kita terkuras untuk belanja rutin alias membiayai birokrasi yang ternyata tak mampu menjalankan fungsinya, sehingga justru lebih banyak jadi penghambat pertumbuhan ekonomi dan penyejahteraan rakyat. Anggaran rutin menyedot 40 persen lebih APBN.

Anggaran untuk belanja pegawai, tunjangan, fasilitas, dan biaya perjalanan serta membayar utang terus meningkat, sementara pada saat yang sama anggaran untuk subsidi dan belanja sosial justru turun.

Untuk belanja pegawai dan membayar cicilan utang saja tahun lalu Rp 162,6 triliun dan Rp 153,6 triliun. Sementara, anggaran untuk pengurangan kemiskinan hanya Rp 80 triliun. Anggaran untuk belanja kesehatan hanya sekitar 2,2 persen dari total APBN-P 2010 dan kurang dari 1 persen dari PDB. Data Bappenas, dalam enam tahun terakhir pemerintahan SBY, belanja modal nyaris stagnan, bahkan tumbuh negatif.

Artinya, untuk membangun atau menyejahterakan rakyat kita harus puas hanya dengan remah-remah yang tersisa. Persoalannya, bukan hanya anggaran habis untuk belanja rutin alias membiayai birokrasi dan membayar utang, banyak dikorupsi atau bocor, melainkan yang remah-remah itu pun belum tentu seluruhnya menetes ke kelompok miskin yang dituju.

Tak sedikit dari dana tersebut justru tersedot untuk seminar, perjalanan dinas, dan lain-lain. Subsidi untuk rakyat miskin juga tak sepenuhnya dinikmati orang miskin. Contohnya adalah subsidi BBM yang lebih banyak dinikmati orang kaya.

Penelitian LIPI menegaskan, kenaikan anggaran untuk kemiskinan sebesar 10-15 persen per tahun tak diikuti dengan perbaikan dalam efektivitas penggunaannya. Pada periode 2000-2004, setiap persen kenaikan anggaran mampu menurunkan 0,4 persen angka kemiskinan, sementara periode 2005-2009 hanya 0,06 persen.

Kita tidak menampik upaya keras pemerintah untuk terus melakukan koreksi terhadap penyebab kegagalan mengurangi kemiskinan dan mengadopsi semua mantra kebijakan penanggulangan kemiskinan. Tahun lalu, misalnya, pemerintah membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang dipimpin langsung oleh Wakil Presiden. Namun, sampai sekarang tak terdengar gebrakannya.

Tahun ini, pemerintah juga meluncurkan lagi enam program prorakyat berbarengan dengan tiga program prioritas dan paket kebijakan fiskal. Namun, program ini lebih banyak dianggap mengawang-awang dan berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, sangat diragukan efektivitasnya di lapangan.

Maka tak heran jika angka insiden kemiskinan dan indeks pembangunan manusia (IPM) memburuk justru pada saat pemerintah mengklaim sudah sukses menurunkan angka kemiskinan. Kontradiksi-kontradiksi ini dan juga tudingan kebohongan yang dilontarkan para pemimpin lintas agama belum lama lalu menunjukkan klaim keberhasilan pemerintah tak sejalan dengan yang terjadi di lapangan. Manfaat pembangunan belum dirasakan oleh sebagian besar rakyat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com