Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ceng Ho di Tangan Ki Enthus

Kompas.com - 06/02/2011, 23:31 WIB

 Aryo Wisanggeni Genthong

Denting saron gamelan Jawa, gesekan selo orkestra Eropa, gesekan Er Hu, dan petikan Yang Qin tradisional China menelan dengung penonton yang berdesakan di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta, Minggu (30/1). Sang Dalang, Ki Enthus Susmono, muncul di panggung. Dua gunungan wayang kulit Jawa di tangannya bergetar. 

”Cinta dan kehormatan adalah warisan leluhur. Manusia, manusia, tanpa kehormatan bagaikan binatang buas. Manusia, manusia, tanpa cinta akan diperbudak oleh nafsu,” Ki Enthus memulai. Ia bernyanyi. Bait demi bait nyanyiannya mengisahkan Laksamana Cheng Ho, seorang kasim Kaisar China Zhu Di yang berlayar selama 28 tahun dan mengunjungi 35 negara termasuk Nusantara.

Pergelaran Laksamana Cheng Ho itu adalah pentas teater pertama Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) Nahdlatul Ulama (NU) sejak lembaga itu lahir kembali pada 2004. Tahun 1960-an, lembaga gerakan kebudayaan NU itu menjadi alternatif di antara kutub dua gerakan budaya yang ”berseteru”, Manikebu dan Lekra. 

Ketika Soeharto berkuasa, diskursus budaya adalah barang terlarang, dan Lesbumi NU pun mati suri. Kelahiran kembali Lesbumi pada 2004 membuat para aktivisnya kembali memiliki dapur mengaktualisasi visi Islam NU yang pluralis dengan berkesenian. Memanggungkan kisah hidup Cheng Ho dipilih menjadi tolakan kebangkitan Lesbumi. 

”Cheng Ho adalah perintis gerakan Islam kultural di Indonesia. Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7. Namun, Ma Huan mencatat dalam Ying-Yai Sheng-Lan pada 1405 Islam baru dipeluk komunitas China dan Arab. Cheng Ho menempatkan ulama di berbagai tempat, dan itulah cikal-bakal gerakan Islam kultural yang lantas melahirkan Wali Songo,” kata Ketua Pimpinan Pusat Lesbumi, Ngatawi Al Zastrouw. 

Memanggungkan narasi besar seperti kisah hidup Cheng Ho menjadi pertunjukan teater dua jam selalu sulit. Apalagi ketika para pelakonnya memaknai narasi besar itu sebagai identitasnya, sejarah keberadaannya. Agus Smoke dan Suhandi Biru Laut harus merombak naskah hingga tiga kali. 

Bongkar pasang adegan pun terjadi. Problem mencari cara mevisualisasikan pengebirian para kasim, atau pemenggalan sejarawan Fang Xiaro, terpecahkan dengan menjadikan Ki Enthus Susmono narator kisah hidup Cheng Ho.

Dalang

Dalang wayang ”Rai Wong” itu memang piawai. Dua wayang golek di tangannya bisa lincah bersilat, jungkir-balik saling pukul bak pendekar kungfu. Ki Enthus pun jago mengocok perut penonton dengan aneka banyolan. Partai disentil dengan ”partai cethek pethakilan, partai besar istiqomah,” politik transaksional disentil dengan ”kejelekan orang lain menjadi komoditas”. Guyonan saru alias porno khas Ki Enthus pun disambut tawa penonton. 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com