Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ceng Ho di Tangan Ki Enthus

Kompas.com - 06/02/2011, 23:31 WIB

Dengan wayang goleknya yang canggih, Ki Enthus menampilkan adegan pemenggalan sejarawan Fang Xiaro dan para musuh Kaisar Zhu Di sebagai ger-geran karena sang dalang piawai memainkan gerakan wayang golek yang dipenggal putus kepalanya. 

Namun, sesungguhnya Ki Enthus terlalu mencuri hati penonton. Kemampuannya berimprovisasi, pesonanya di panggung, menguras konsentrasi penonton. Gaya ’teater sampakan’ Ki Enthus yang cerdas, jenaka, berbumbu isu ”Gayus”, ”bohong”, dan semacamnya terlalu renyah sehingga mengandaskan plot serius tentang Sang Laksamana. 

Ketika penonton yang masih mulas karena terpingkal-pingkal disodori percakapan serius Kaisar Zhu Di yang meminta sejarawan Fang Xiaro memanipulasi penulisan sejarah, percakapan menjadi terlalu sulit dicerna. Keteguhan Fang Xiaro yang memilih dipenggal daripada memalsukan sejarah nyaris tak berkesan. Adegan ini lewat begitu saja. Padahal, inilah kisah perlawanan terpenting, yang memperlihatkan keteguhan sikap seorang ”ilmuwan”. 

Sutradara Laksamana Cheng Ho, Siti Artati, mengakui dominasi improvisasi Ki Enthus. ”Namun itu sah-sah saja, semua masih di dalam jalur skenario dan konsep pementasan,” kata Artati. 

Cheng Ho dewasa yang diperankan Ray Sahetapy baru muncul di Nusantara pada 20 menit terakhir dalam pertunjukan berdurasi dua jam itu. Dalam 20 menit terakhir, adegan demi adegan berkejaran, seolah diburu kejenuhan penonton. Adegan penutupnya adalah lawatan Cheng Ho ke Majapahit meski negara itu tengah berperang melawan Blambangan. 

Cheng Ho menolak membawa senjata dalam lawatannya ke Majapahit. ”Perbedaan pendapat dan tujuan tidak bisa diselesaikan dengan perang. Perang justru menimbulkan dendam dan penderitaan,” kata Cheng Ho sambil membuang pedangnya. 

Al Zastrouw membumikan pesan itu. ”Kami menolak radikalisasi dan kekerasan, tetapi kami tidak ingin menyebut radikalisasi dan kekerasan itu salah. Kami ingin menunjukkan bahwa Lesbumi membuat semua orang berkumpul, bekerja, apa pun agamanya, apa pun latar belakangnya. Kami menolak radikalisasi tanpa perlu menjadi radikal, menolak kekerasan tanpa perlu ikut berbuat kekerasan,” ujarnya.

Itulah pesan penting pentas ini, yang kira-kira bisa mengena untuk konteks realitas di negara kita belakangan hari. Jika kekerasan dihentikan dengan kekerasan, maka kekerasan itu takkan pernah berhenti. Jangan-jangan akan terus menyulut kekerasan-kekerasan baru.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com