Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Buruh WNI di Batam Alami Diskriminasi

Kompas.com - 27/04/2010, 04:21 WIB

BATAM, KOMPAS - Buruh Indonesia yang bekerja pada galangan kapal di Kota Batam, Kepulauan Riau, mengeluhkan adanya diskriminasi. Dalam konteks penanaman modal asing, alih teknologi sebagaimana disyaratkan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 ternyata banyak tak direalisasikan.

”Diskriminasi terhadap buruh Indonesia jelas-jelas kami rasakan,” kata salah seorang buruh PT Drydocks World Graha, Minggu (25/4), yang diamini rekan- rekannya.

Diskriminasi itu, antara lain, terjadi pada gaji dan fasilitas. Untuk level yang sama, gaji dan fasilitas yang diterima buruh ekspatriat selalu lebih baik daripada buruh Indonesia.

Mandor perusahaan galangan kapal, misalnya, jika posisi itu ditempati buruh ekspatriat, yang bersangkutan akan mendapat fasilitas tempat tinggal dan sejumlah kebutuhan bulanan, seperti sabun cuci. Fasilitas seperti ini tidak akan didapatkan buruh Indonesia.

Soal gaji pada level penyelia dengan ijazah sarjana (S-1), menurut Agung Giarto, Asisten Manajer PT Global, bagi buruh Indonesia sekitar Rp 1,2 juta sampai Rp 1,5 juta per bulan. Sementara buruh asing bisa mendapatkan gaji 10 kali lipatnya.

”Parahnya lagi, tak sedikit buruh asing yang bekerja di level mandor sampai penyelia yang tidak nyambung dengan latar belakang pendidikannya,” kata sejumlah buruh PT Drydocks World Graha.

Ketua PUK Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia PT Drydocks World Nanindah Anggun Hidayatullah menyatakan, buruh Indonesia mayoritas ditempatkan di bagian pesuruh dan pertukangan. ”Level mandor dan penyelia sebagian diisi buruh asing. Padahal, kalau mau jujur, orang Indonesia juga mampu mengisi semua (level) itu,” ujarnya.

Pola perekrutan

Menurut anggota Komisi IV DPRD Kota Batam, Riky Indrakari, diskriminasi itu terjadi, antara lain, akibat pola perekrutan yang berbeda. Pekerja asing direkrut melalui kantor cabang perusahaan galangan kapal yang umumnya berada di Singapura. Buruh Indonesia mayoritas bekerja pada perusahaan subkontraktor yang berlapis-lapis.

”Diskriminasi bukan kasuistis di salah satu perusahaan saja, tetapi terjadi di semua perusahaan galangan kapal. Permasalahan ini sebenarnya bisa diatasi jika fungsi pengawasan dari pemerintah berjalan,” kata Riky.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com