MAGELANG, KOMPAS.com – Semarak Grebeg Getuk kembali hidup di Alun-alun Magelang. Tradisi Grebeg Getuk yang sempat vakum selama empat tahun itu membuat peringatan HUT Kota Magelang menjadi tak afdal.
Apalagi Magelang dikenal sebagai "Kota Getuk". Pandemi Covid-19 jadi momok bagi berbagai agenda kebudayaan. Kegiatan yang mengundang massa ditiadakan, walau perlahan diperbolehkan dengan beberapa pembatasan.
Baca juga: Riuh Tradisi Grebeg Syawal Keraton Kanoman Cirebon, Doa untuk Dunia
Empat tahun bukan waktu sebentar menanti Grebeg Getuk. Selama itu, HUT Kota Magelang cuma dirayakan melalui upacara formal secara terbatas.
Keriuhan yang ada sejak Grebeg Getuk ditampilkan perdana pada 2006, berganti sunyi lagi muram.
Pada Minggu (28/4/2024), keriuhan memperingati HUT ke-1.118 Kota Magelang kembali muncul. Masyarakat menjubeli sepanjang Jalan Ahmad Yani sampai Alun-alun Magelang.
Maklum, empat gunungan getuk diarak dulu sebelum diperebutkan. Butuh ketangkasan untuk merenggut satu bungkus saja. Jika tidak, bersiaplah tak dapat apa-apa selain rasa sebal.
Zunairoh, misalnya, yang begitu cekatan mengambil berbungkus-bungkus getuk. Ia mengaku baru kali ini ikut Grebeg Getuk.
“Saya asyik menggambil sampai banyak getuk saya terjatuh. Ternyata sulit juga,” ucap warga Kecamatan Kaliangkrik, Kabupaten Magelang itu.
Wali Kota Magelang, Muchamad Nur Aziz mengatakan, Grebeg Getuk merupakan wahana untuk menilik sejarah kota berikut penganannya. Selain itu, dia bilang, untuk menunjukkan identitas Magelang yang masih melestarikan budaya.
“Mesti ada kebaruan (konsep) setiap tahun. Mudah-mudahan banyak orang tertarik untuk nonton ke Kota Magelang,” cetusnya.
Sejarah getuk tak lepas dari sejarah ketela pohon atau singkong. Umbi-umbian ini berasal dari Amerika Tengah. Pada abad ke-16, diperkirakan singkong mulai tersebar ke negara-negara tropis, termasuk nusantara.
Masa pendudukan Jepang (1942-1945), beras merupakan benda langka, sedangkan singkong banyak ditanam di rumah dan dijual di pasar.
Persebaran getuk di Magelang, konon merupakan temuan warga Desa Karet bernama Ali Mohtar. Ia mengolah singkong dengan cara dikukus, lalu dihaluskan dan dicampur dengan gula. Saat itu, untuk menghaluskan singkong menggunakan lesung yang ditumbuk oleh 4-6 orang.
Ternyata kudapan bikinan Ali Mohtar digemari banyak orang dan disebut getuk gondok. Nama gondok disematkan dari penyakit yang sedang diderita Ali Mohtar.
Grebeg Getuk, tutur seniman Gepeng Nugroho, berawal dari keinginan membuat kegiatan budaya yang lekat dengan identitas Magelang. Contohnya, ada sekaten yang lekat dengan Yogyakarta.
Gepeng, bersama seniman Margono ‘Canting’, memilih getuk sebagai ikon tradisi grebeg. Alasannya, getuk merupakan makanan khas Kota Magelang.
Dalam Grebeg Gethuk terdapat rangkaian pentas kesenian rakyat. Salah satunya, tarian Babad Mahardika yang dibawakan 250 peserta secara kolosal.
“Babad Mahardika menceritakan sejarah berdirinya Kota Magelang. Peserta tari kolosal ini berasal dari sejumlah sanggar seni,” ucap Gepeng.
Baca juga: Grebeg Jemunak, Kudapan Khas Magelang Hanya Ada Saat Ramadhan
Aktivis sejarah Kota Magelang, Bagus Priyana tidak mengetahui bagaimana mula Magelang identik dengan getuk.
“Saya belum menemukan arsip yang (menyebut) Magelang sebagai kota getuk. Meskipun, getuk tidak hanya ada di Magelang. Seperti di Banyumas ada getuk sokaraja, Salatiga dengan getuk kethek,” jelasnya.
Bagus mengamini cerita bahwa terkenalnya getuk di Magelang bermula dari masa pendudukan Jepang. Namun, jauh sebelum itu, penganan ini sudah tercatat di manuskrip-manuskrip lawas, salah satunya Serat Centhini.
“Saya melihat Grebeg Gethuk sebagai upaya menahbiskan diri Magelang sebagai kota getuk,” tandasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.