“Setiap malam selikuran, ibu menyajikan tongseng kepala kambing. Lalu, dimakan bersama jemaah setelah tarawih,” imbuhnya.
Langgar kuno ini memiliki dua lantai. Bagian bawah berlantai semen pelur, sedangkan bagian atas berlantai kayu jati.
Kedua bagian langgar dihubungkan tangga kayu di sisi utara bangunan. Teras depan dan lantai atas dipasang pagar kayu dengan ukir-ukiran.
Bangunan ini berukuran 9x9 meter dengan bentuk atap limasan. Ia mengdopsi model arsitektur kolonial dan Jawa. Akulturasi budaya ini disebut juga gaya Indis.
Corak bangunan Jawa tampak pada rete-rete (lis plan) kayu berukir menggantung mengelilingi seluruh teras langgar.
Fasad tempat imam salat merupakan hasil perkawinan interior Jawa-Belanda. Ia berbentuk lengkungan, mengingatkan pada fasad-fasad benteng Belanda.
Namun, elevasi fasad tak begitu tinggi, sehingga orang harus membungkuk bila hendak masuk. Interior yang menyimbolkan penghormatan tamu terhadap sahibulbait ini acap dijumpai pada rumah-rumah gaya Jawa.
Pengaruh simbolisasi dalam konsep Jawa juga kentara pada jendela berbahan kayu yang menghadap kiblat. Jendela ini bermakna terhubungnya salat langsung dengan Kabah.
Baca juga: Menengok Tradisi Sedekah Bumi dan Gunungan Tempe untuk Sambut Ramadhan di Sidoarjo
Sudah belasan tahun langgar tidak pernah digunakan. Totok menyebut, penyebabnya imam musala meninggal dan belum ada pengganti
Dalam hati kecilnya ia ingin menghidupkan kembali langgar warisan keluarganya.
“Nanti kalau ada rezeki,” ucapnya.
Langgar tak bernama, nyatanya, menjadi saksi perkembangan Islam di seputaran Ngrajek. Keberadaannya di kawasan peribadatan Hindu-Buddha masa silam menunjukkan toleransi hidup dan tumbuh dalam hubungan sosial masyarakat Jawa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.