GORONTALO, KOMPAS.com – Molunggelo adalah kebiasaan turun-temurun masyarakat Gorontalo mengayunkan pertama bagi bayi yang baru lahir.
Tradisi ini tak lepas dari wujud kasih sayang dari keluarga usai tali pusat sang bayi jatuh. Molunggelo juga dikenal dengan sebutan Mopota’e to Lulunggela, atau menaikkan bayi pada buaian.
“Dahulu kala, untuk menjaga bayi agar lebih aman, orangtua memilih ayunan sebagai wadah atau tempat untuk menidurkan anak dan untuk tempat bermain anak. Posisinya yang tak langsung bersentuhan dengan lantai, membuat sang bayi aman dari gangguan hewan seperti serangga, kucing, dan hewan lainnya,” kata Rusli Nusi, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Gorontalo, Rabu (13/9/2023).
Baca juga: Asal-usul Tradisi Rebo Wekasan dan Kisah Kyai Welit dari Wonokromo
Molunggelo tahun ini ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda (WBtB) Indonesia, salah satu dari 5 warisan budaya yang berasal dari Provinsi Gorontalo.
Adat ini dianggap sebagai bukti dan pernyataan kasih sayang orangtua dengan perawatan perlindungan fisik dan kesehatan bayi.
Menurut Rusli Nusi, tradisi Molunggelo diperkirakan sudah ada sejak abad 16, yakni saat agama Islam masuk Gorontalo.
Tradisi ini merupakan jenjang peradatan dalam peristiwa kelahiran yang secara turun temurun diberlakukan oleh masyarakat suku Gorontalo sampai saat ini.
“Acara Molunggelo atau Mopota'e to lulunggela adalah kewajiban sang ibu dalam melayani dan merawat sang bayi, dalam hubungannya dengan perlindungan kesehatan fisik anak/ibu dan kepuasan dan ketenangan tidur,” ucap Rusli Nusi.
Rusli Nusi menjelaskan dalam prosesi Molunggelo, terdapat syair dan atribut adat yang digunakan dalam pelaksanaannya. Syair dan atribut adat tersebut memiliki makna dan nilai-nilai tertentu yang dipercaya membawa kebaikan.
Baca juga: Tradisi Walima, Perayaan Maulid Nabi yang Jadi Magnet Wisata di Desa Bongo
Syair ini berupa lafalan doa-doa yang diucapkan oleh hulango atau bidan kampung pada saat pelaksanaan molunggelo. Syair ini akan dilantunkan pada saat bayi akan dimandikan, bayi akan diayunkan ke buaian atau Lulunggela, dan terakhir pada saat hendak menaburkan beras lima warna.
Atribut adat yang digunakan adalah sebuah lulunggela (ayunan) sebagai peralatan utama, juga seperangkat hulanthe yang berisi telur, cengkeh, pala, lemon swanggi, uang koin, dan beras. Selain itu ada ayam 1 pasang, dan seperangkat baki yang berisi polutube (tempat membakar dupa), segelas air dan kemenyan atau alama.
“Semua atribut adat tersebut sering digunakan oleh para orangtua dahulu dalam melaksanakan tradisi molunggelo. Oleh karena itu, untuk menghormati dan mempertahankan Molunggelo, sampai saat ini masyarakat Gorontalo masih mempertahakan Molunggelo anak pertama hingga anak terakhir,” tutur Rusli Nusi.
Ia menyebut beberapa makna dan fungsi Molunggelo atau mopota'e to lulunggela adalah kewajiban, menjaga kesehatan sang bayi.
Di dalam lulunggela, sang bayi bebas bergerak, sehingga pembentukan fisik lebih terarah, jika dibandingkan dengan tidur di gendongan.
Molunggelo juga memiliki manfaat bagi sang ibu untuk menggunakan waktunya membenahi pekerjaan rumah tangga yang lain di saat sang bayi tidur, tidak ada kekhawatiran sang bayi jatuh dari tempat tidur, sebab begitu ia bergerak terayun kembali seolah-olah ditimang-timang.
Baca juga: Makam Sunan Bonang dan Tradisi Bubur Suro